Managemen Mainan


Oleh: Anggie D. Widowati


Seorang anak usia sekitar empat tahun menangis berguling-guling di sebuah toko mainan. Kedua orang tuanya --tampaknya keduanya eksekutif muda-- tak bisa apa-apa. Baby sitternya berusaha menenangkan, tetapi malah ditendang-tendang dan dipukuli. Rupanya anak itu menginginkan sebuah mainan. Tetapi orang tuanya mencoba melarang.Marahlah si anak dengan gegap gempitanya. Akhirnya orang tuapun memberikan mainan itu kepada si anak.

Kejadian semacam itu sering terjadi di sekitar kita. Entahlah, penyebabnya apa. Tetapi kenyataannya orang tua tak mampu meredam keinginan anak. Kalau sudah berguling-guling di tempat umum, mau bilang apa, akhirnya harus mengeluarkan kocek untuk mainan juga.

Saya mengasuh dua anak saya setiap hari. Saya memulainya dengan menanamkan kesederhanaan kepada mereka. Mereka tidak harus memiliki segalanya. Anak laki-laki tidak perlu mengoleksi hotwheel seperti teman-temannya. Cukup memeiliki satu atau dua, tetapi dibelikan ayahnya ketika ke Singapura. Anak perempuan tak perlu mengoleksi barbie, cukup memiliki satu, tetapi kostumnya ada beberapa, diperlukan bila si barbie mau ke pesta, ke pantai atau lagi bersantai.

Syukurlah, sampai saat ini kalaupun masuk ke toko mainan, tidak ada yang rewel. Kami diskusikan apa yang perlu dibeli, dan harus sesuai dengan kocek yang ada. Keduanya memiliki tabungan uang recehan di rumah. Jadi uang itu yang dipakai untuk membeli mainan. Biasanya saya hanya menambah kekurangannya.

Membeli mainan dengan tabungan, menjadikan anak menunggu saat-saat tabungan itu penuh. Jadi tidak setiap saat bisa membeli mainan. Kakaknya yang berusia 7 tahun, mainannya mulai mengerucut, asesoris tentara, jadi tidak membeli kereta api lagi seperti ketika masih umur 4 tahun. Kereta-kereta yang sudah lama diberikan kepada tetangga yang tidak mampu. Rumah pun bersih, anak juga fokus pada satu mainan.

Adiknya karena masih 3 tahun dan perempuan tak perlu mewarisi mainan kakaknya. Tetapi memiliki kotak sendiri yang berisi mainan khusus anak perempuan. Dia tidak perlu memiliki mainan kotak kasir, atau troli plastik, karena kami melibatkan dia dengan mendorong troli ketika berbelanja di supermarket.

Untuk sepeda, mereka memiliki satu-satu, dengan ukuran roda sesuai dengan ukuran tubuhnya. ''Di dunia ini tak ada anak kecil yang tak ingin punya sepeda."

Dengan pemilihan mainan yang selektif, menghindari rumah yang berantakan karena terlalu banyaknya mainan. Selain itu juga membuat anak tidak fokus, bila mainan terlalu banyak. Ada anak kecil yang mainannya banyak sekali, tetapi bila melihat ada temannya punya mainan baru, dia berusaha merebutnya. Gilanya, orang tuanya langsung membelikan dia mainan seperti itu. Padahal setelah dibeli, mainan itu tergeletak begitu saja. Bagi saya itu pemborosan, karena tentu masih banyak keperluan untuk anak dimasa mendatang.

Anak saya juga tidak tertarik dengan mainan seribuan di sekolahnya, karena saya bilang membeli mainan seperti itu rugi. Ga sampai dua jam juga rusak. Mendingan uang ditabung, bisa buat membeli apapun yang dia butuhkan.

Saya lebih suka melihat anak saya bermain pasir, atau main hujan-hujan. Jadi tidak perlu modal mainan mahal-mahal. Cukup peralatan main pasir pantai yang harganya sekitar 30 ribu. Hujan-hujanan tinggal membelikan mereka jas hujan, ember kecil, atau memakai sepeda. Semua pemborosan benar2 dihindari. Sebulan sekali mereka berenang di tempat bagus, karena tidak rewel minta mainan ini itu, ya semacam reward. Atau di mall yang bagus, makan sepuas mereka.

Sekarang ini, si kakak memiliki peralatan perang plastik, lengkap asesori dan kostum, sepeda, dan seperangkat komputer isi game. Adiknya memiliki satu barbie asli dibeli di amrik, beberapa alat kosmetik mainan, peralatan dapur komplit dan sederet VCD anak-anak original. Juga sepasang sayap peri, dan kostum puteri salju berwarna merah jambu.

Kakaknya juga sudah mulai membaca majalah. Cuma aku sudah tidak ada kata-kata menolak kalau anak sulungku ''ngeyel''  beli komik dan majalah donal. Tak apalah, setidaknya, kalau sudah menumpuk laku untuk dikilokan.....                                                        

Pondok Aren 14 Januari 2010


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat