2. Pelarian
Catatan Perjalanan: Ari Handayani
Kawanku Yati sudah lebih dua bulan lari pabrik tempatku bekerja. Kata kawan-kawan satu rumahnya dia hamil, jadi memilih tinggal dengan suaminya. Lalu kenapa lari? tak tak lapor HR?
“Takut dipulangkan HR mungkin Mbak. Tapi kadang-kadang dia datang ke asrama, mengambil sisa barangnya yang tertinggal.”
Yati bekerja sebagai operator mesin sinar X. Tugasnya melakukan tes terhadap pcb (print circuit board) yang sudah dipasangi komponen atau biasa disebut board, menggunakan sinar X. Tentu saja pekerjaan ini amat berbahaya bagi kandungannya. Apalagi setahuku Yati sudah lama ingin menimang anak. Usia pernikahannya sudah tiga tahun. Yang kuherankan, mengapa dia tak minta pindah bagian, tak lagi menjadi operator mesin sinar X?
Ada larangan hamil bagi pekerja asing di pabrikku. Jika ada pekerja asing yang hamil dan diketahui HR, akan dipulangkan tanpa pesangon sepeser pun. Pulangnya pun via feri sampai Pelabuhan Belawan, Medan saja. Transport berikutnya ditanggung pekerja sendiri, karena dia dianggap menyalahi kontrak. Walau demikian, banyak pekerja yang dibiarkan terus bekerja walau kandungannya sudah besar. HR baru memulangkannya setelah umur kandungan itu 7-8 bulan. Toleransi istilahnya. Selagi tenaga pekerja asing masih bisa dimanfaatkan, mengapa harus dipulangkan cepat-cepat?
Suatu hari Yati menelponku. Dia mengundangku datang ke rumahnya. Yati tinggal dengan suaminya di sebuah kongsi di Kampung Baru.
“Kalau Mbak sampai BM Plaza, telpon aku saja. Biar masku kusuruh menjemput,” pesannya mengakhiri pembicaraan.
Begitu sampai BM Plaza dua hari kemudian, kutelpon dia. Tak lama kemudian suaminya datang sambil mengendarai motor. Kami lalu menuju kongsinya di Pasar Baru.
Yati masih kurus seperti dulu. Kulitnya yang kuning langsat kian terang dan bersih. Namun perutnya makin membesar, demikian pula dengan pinggangnya.
“Anakku kembar mbak,” katanya bahagia di depan sebuah rumah.
Kongsi tempat suami Yati bekerja lumayan bagus. Tokenya khusus menyewakan sebuah rumah bagi para pekerjanya. Walau rumah lama, namun cukup terawat. Rumah itu dibagi menjadi tiga bagian besar. Bagian depan dihuni oleh juru masak dan suaminya. Bagian tengah dihuni oleh pekerja asal Bangladesh. Sementara Yati dan suaminya menempati rumah bagian belakang. Di sana ada tiga kamar. Sebuah kamar ditinggali Yati bersama suaminya, dua kamar lagi ditempati sepupu-sepupu suami Yati yang juga bekerja di sana.
Yati menuntunku memasuki tempat tinggalnya, sebuah kamarnya yang berukuran tiga kali tiga setengah meter persegi itu. Kamar itu disekat menjadi dua, satu sebagai tempat tidur, sisanya ruang tamu yang dilengkapi dengan teve. Yati mengajakku ndlosor di atas tikar.
“Jadi kamu mau melahirkan di sini,” tanyaku.
“Enggaklah..nanti kalau kandunganku sudah enam bulan aku pulang.”
“Lewat belakang ?” aku khawatir.
“Nggak..lewat atas. Ini lagi diurus Pakde di KL.”
Suami Yati pemegang IC di Malaysia. Dia sudah masuk Malaysia sebelum tahun 1990, saat umurnya masih 13 tahun. Ketika pemerintah Malaysia mengadakan pendataan bagi warga asing saat itu, mereka memberikan semacam IC. Suami Yati termasuk yang mendaftar. Kedudukan pemegang IC dijamin haknya setara dengan warga negara Malaysia. Mereka bebas bekerja dimana saja tanpa perlu memiliki permit kerja atau membayar pajak. Pemegang IC di Malaysia lainnya adalah anak-anak warga negara asing yang lahir di Malaysia. Negara yang menganut asas ius soli ini akan menjadikan siapa saja yang lahir di Malaysia sebagai warga Malaysia. Permasalahannya, jika orang tua anak tersebut adalah pendatang haram alias ilegal, si anak tak bisa didaftarkan untuk mendapatkan IC. Akhirnya anak itu pun menjadi orang ilegal.
Aku cemas kalau kawanku ini harus pulang lewat belakang. Harus sembunyi-sembunyi di angkut ke dalam boat, ditumpuk-tumpuk, lalu ditutupi terpal agar tak dicurigai polisi perbatasan. Belum lagi harus menempuh ombak besar, risiko tertangkap atau terbalik, mengancam setiap saat. Ketika sampai di perairan Batam atau Tanjung Pinang pun, dia masih harus berjalan di dalam air yang ketinggiannya mencapai leher hingga sampai daratan. Mampukah dia? Jangan-jangan malah bayinya bakal lahir sebelum waktunya.
“Aku naik pesawat Mbak.”
“Paspormu? Kan ditahan kilang.”
“Sudah mengurus paspor lagi sekalian tiket pesawat dan kompaun.”
“Bisa..?”
“Bisa mbak, Pakde yang ngurus. Tapi mahal.”
“Berapa ?”
“Seribu lima ratus.”
“Masmu nggak ikut balik?”
“Nanti menjelang aku melahirkan, dia pulang.”
“Terus ?”
“Rencananya mau pulang terus dia. Mungkin kalau anakku sudah besar aku ke sini lagi bareng Mas. Biar ibuku yang mengasuh anak-anakku.”
Aku terdiam. Yati sebetulnya masih ingin bekerja di pabrik. Sambil mengumpulkan uang buat sangu pulang. Tapi bukan menjadi operator mein sinar X. Sayang supervisornya tak memberi ijin. Terpaksa dia lari.
“Mengapa tak lapor HR saja? Kan lumayan diantar pulang tanpa mengeluarkan ongkos, legal pula?”
“Aku tak mau cepat-cepat berpisah dengan Masku.”
Beberapa minggu kemudian ketika aku berkunjung ke tempat Yati, kulihat ada penghuni baru di kamar Yati. Seorang perempuan muda. Putih, manis, dan nampak terawat tubuhnya. Saudara Yati? Kulihat kaki perempuan muda itu terluka parah, sehingga tak dapat digunakan berjalan. Yati dan suaminya bergiliran melayani perempuan itu. Siapa dia?
Wina namanya. Dia menjadi pembantu rumah tangga pada sebuah di Kedah. Karena bermasalah dengan majikannya, dia memilih lari dengan cara melompat dari balkon rumah majikan. Tulang kaki kirinya retak.
“Keluarganya di Indon meminta bantuan Masku untuk mengurusnya. Minggu lalu Mas menjemputnya dari rumah orang yang menolong dia di Kedah, lalu membawanya ke mari. Walau bukan saudara, sesama orang Indon harus tolong-menolong kan Mbak. Takkan tega rasanya menelantarkan bangsa sendiri,” cerita Yati.
Kamar yang sempit itu kini ditempati bertiga. Entah bagaimana mereka mengaturny, dua perempuan dan seorang lelaki. Kupandang dinding penyekat yang memisahkan dua ruangan di situ.
Usai membantu Yati di dapur, kulirik Wina. Dia menyapaku, bertanya ini itu yang tidak penting. Tentang pekerjaanku, abangku, atau gajiku sebulan. Jengah aku dibuatnya. Bukannya bertanya tentang bagaimana memperbaiki kondisinya, tapi malah meributkan hal orang lain.
“Kenapa lari dari rumah majikan Win? “ tanyaku tiba-tiba, menyelidik.
“Majikanku orangnya rewel, Mbak. Mosok aku nggak boleh shalat.”
“Lho, kalau memang begitu kenapa nggak lapor ke agen saja.”
“Nggak lah mbak.”
“Majikanmu orang apa?”
“Cina mbak.”
“Apa kamu pernah bilang ke majikanmu kalau kamu muslim dan harus shalat.”
“Nggak mbak.”
“Kenapa nggak? “
“Takut mbak.”
“Harusnya kamu bilang. Beribadah itu hak kita dan dijamin di negara manapun. Majikan kita pun nggak boleh melarang.” Wina hanya membisu.
“Kenapa nggak lapor ke konsul lewat telpon? Kan kamu diberi buku kecil berisi nomor telpon yang bisa dihubungi waktu pembekalan oleh depnaker di Jakarta?”
“Nggak Mbak, takut.”
“Apa kamu tahu kalau majikanmu wajib memberimu kesempatan untuk shalat.”
“Nggak Mbak.”
“Jadi sekarang maumu apa?”
“Nggak tahu Mbak.”
“Pulang ?”
“Aku belum dapat uang Mbak.”
“Kamu pernah kerja ke sini sebelumnya?”
“Iya mbak, sebelum kawin. Tapi majikanku baik.”
“Kenapa kamu kesini lagi setelah kawin? Nggak kasihan meninggalkan anak dan suamimu?” Dari Yati kutahu kalau anak Wina belum genap tiga tahun.
“Suamiku menganggur, Mbak.”
Aku hanya terdiam. Tak tahu lagi harus bilang apa. Membantunya pun aku tak mampu. Meyakinkannya bahwa dia punya hak untuk beribadah percuma saja. Menyarankannya lapor ke konsulat RI, dia menolak. Jadi apalagi yang harus kulakukan. Seolah aku menghadapi tembok baja yang tak bisa ditembus.
“Biarkan dia di sini sampai sembuh dulu,” suami Yati memecah kesunyian.
“Kalau sudah sembuh ?”
“Cari kerja apa saja.”
“Jadi orang kosong dong, Mas.”
“Ya gimana lagi. Siapa tahu dia bisa bekerja kongsi kong”
Kerja kongsi kong adalah kerja besih-bersih, mengumpulkan sisa-sisa bangunan, kayu yang tak berguna di sebuah proyek bangunan. Pekerjaan ini banyak dilakukan kaum perempuana dan remaja belasan tahun, terutama perempuan keturunan Madura. Wina perempuan yang kuat. Jika luka di kakinya sembuh, kurasa dia mampu melakukan pekerjaan apa saja. Suami Yati mungkin benar.
Sebulan kemudian Yati meninggalkan Malaysia menuju Jogjakarta lewat Kuala Lumpur. Kudengar suaranya yang sedih saat berpamitan lewat telpon.
“Titip suamiku ya Mbak. Berat bagiku meninggalkannya. Tapi perutku sudah besar.”
Beberapa bulan kemudian suaminya menyusulnya pulang ke Indonesia. Kami sempat bertemu sebelum lelaki itu menjual sepeda motornya ke dealer tempat motor itu dibeli. Sempat kutanya kabar Wina, bagaimana keadaannya, dan apa yang terjadi dia ditinggal pergi.
“Wina sudah lama pergi..”
“Kok bisa..” Jantungku berdetak kencang.
“Nggak tahulah Mbak..”
Aku tak puas dengan jawabannya dan terus mendesaknya. Lelaki itu mengaku telah memarahi Wina habis-habisan.
“Dia itu perempuan nakal.”
“Apa mksudmu, Mas?”
“Waktu istriku sudah pulang ke Jogja, dia sering menggodaku, tapi tak kupedulikan.”
“Lalu..?”
“Terakhir dia kulihat tidur di kamar saudara sepupuku yang letaknya persis di depan kamarku.”
“Lho kan sepupumu sudah beristri.”
“Itulah..aku marah besar hari itu. Keesokan harinya dia kuusir dari kongsi. Nggak tahu dimana dia sekarang. Aku nggak peduli lagi. Ditolong kok malah ngisin-isini”
Aku terdiam. Sudah banyak kulihat pembantu rumah tangga lari di negeri ini. Mereka bisa bertahan hidup dengan bekerja di kongsi-kongsi sebagai tukang bersih-bersih, atau menjadi pelayan restoran dan kedai makan. Ada juga yang bekerja di pabrik-pabrik. Orang Indonesia di sini saling tolong-menolong jika melihat sesamanya susah. Namun pertolongan itu ada harganya. Apalagi jika yang menolong seorang lelaki. Paling tidak dia harus mencicipi tubuh perempuan itu dulu. Mungkin ada yang tulus menolong, tapi itu hanya satu dua.
Kurasa, Wina yang manis itu akan bisa bertahan. Pasti bisa, pikirku, walau harus mengorbankan kehormatan dirinya. Kurasa Wina pun tahu hal itu. Buktinya dia sudah mencobanya di kongsi suami Yati. Ah Wina, bukan ringgit yang kau trima, melainkan aib dan ketidakpastian hidup. Aku merintih.
Komentar
Posting Komentar