1. Balik Pulau

Catatan Perjalanan:  Ari Handayani 

Mudah menuju Balik Pulau. Dari asramaku di Taman Pelangi cukup naik bus jurusan Butterworth. Begitu turun di terminal langsung menyeberang ke Penang dengan feri. Setiba di Jeti, tinggal naik bus rapid warna merah --semacam bus kota yang disediakan pemerintah negara bagian Penang-- menuju ke Balik Pulau. Ada juga bus lain dengan jurusan sama, tapi tak banyak.

Selepas meninggalkan pusat kota, menembus Gertak Sanggul, aku mulai terpesona dengan pemandangan di kiri-kanan jalan. Perkampungan penduduk, rumah-rumah papan, hutan, masjid. Lalu bus mulai mengurangi kecepatan, merambah naik ke bukit. Berkelak-kelok, melingkari punggungan bukit demi bukit. Di kiri bus jurang, di kanan bus punggung bukit. Pohon-pohon rambutan dan durian menjulur dari tepi jalan.

Bus kian mendaki bukit. Kini nampaklah olehku bagian jalan yang belum rampung. Jembatan masih jauh dari sempurna. Tepi jalan penuh dengan bongkahan batu dan debu. Sesekali kulihat mereka, wajah para kuli bangunan menyembul dari balik debu. Lalu deretan kontena memantulkan terik mentari, menyilaukan mata. Bahkan di bagian hutan yang tertutup ini ada juga kongsi pekerja, tempat para kuli bangunan itu tinggal.

Menjelang kota, berderet gedung-gedung baru sedang dibangun. Hotel, perumahan, kantor, restoran. Bisa dikatakan para kuli bangunan itu sedang membelah bukit agar kota di ujung pulau tak terisolir dengan Georgetown, ibukota Pulau Penang.

    Balik Pulau tempat tinggal yang nyaman. Udaranya sejuk, terutama di malam hari, membuat daerah ini menjadi tujuan istirahat di akhir pekan. Banyak pesanggrahan dan villa berdiri di sini. Semacam Tretes di Malang atau Kawasan Puncak di Bogor. Ketika menyusuri pasar pagi yang terhampar sepanjang gang dan jalan utama, kulihat banyak keturunan Cina hilir-mudik berbelanja. Jarang sekali nampak keturunan Melayu. Ada juga satu dua orang Indonesia, perempuan tentu saja. Mungkin mereka bekerja sebagai pembantu rumah tangga di keluarga-keluarga Cina itu.

Kalau kita menjelajah jalan utama, berjalan terus lurus, akan berakhir ke jalan mendaki bukit. Itulah arah menuju Teluk Bahang, melalui waduk atau  tasik Penang.

    Suatu kali aku meminta sopir bus menurunkanku di pertigaan Gertak Sanggul, tepatnya di perkampungan Melayu sebelum mendaki bukit. Niatku sudah bulat, hendak melihat dengan jelas kehidupan kuli bangunan di situ.

Aku lalu berjalan mendaki bukit, perlahan, mencoba menemukan tempat-tempat para pekerja itu. Hari itu Sabtu, masih pagi, belum pukul delapan. Suasana begitu lengang, hanya bunyi bus dan mobil yang sekali-sekali lewat. Aku mengamati sebuah jembatan besi yang belum jadi, lalu melangkah mendekatinya. Ketika mengambil foto di bawah jembatan, sebuah sepeda motor mendekatiku.

    Nak ambil gambar je, boleh tak ?” tanyaku dalam bahasa Melayu, mengutarakan niatku hendak memotret tempat itu.

    Tak pe..awak ni sape?

    Tinggal kat sini ke?

    Tak de..saye tinggal kat sebrang. Mai sini sengaja na jalan saje.

    Cam tu lah..”

    Mana orang yang keje kat sini Bang, ta nampak ni hari,” tanyaku ingin tahu.

    Siang sikit. Ni kan Sabtu, tak banyak orang keje.”

    Abang keje kat sini?”

    “Ya..saye kerani kat sini.”

    “Ooo..banyak orang keje kat sini ya bang.”

    “Banyaak..tapi tiap projek lain toke.”

    “Jadi yang sini dengan yang depan tu tak same?” tanyaku ingin tahu.

    “Tak samelah. Banyak bagian kat sini, tiap bagian yang pegang lain orang.”

    “Bang..nape projek Balik Pulau ni tak selesai juge. Dan bertahun-tahun tuh.”

    “Iye..saye juga bingung. Pasal duit kali.”

    “Nape awak tanya cam itu?”

    “Tada.. dulu kawan saye keja kat sini. Dah lama da..”

    “Boyfriend awakke?”

    “Tak de laah!”

    Lelaki itu meninggalkanku. Motornya menderu, membuat jembatan besi yang belum stabil itu bergoyang-goyang. Aku kembali berjalan. Kutemui sekelompok kuli bangunan sedang mengebor batu bukit. Mukanya tertutup kain, sementara tangannya kukuh memegang bor. Macam tokoh dalam film Jango saja. Sementara itu kawan-kawannya menata batu di sampingnya.

    Lom rehat ke?” tanyaku.

    “Lama lagi..nanti pukul sepuluh,” jawab salah seorang dari mereka.

    Aku kembali mengeluarkan kameraku. Mereka nampak kaget namun senang, seolah baru kali pertama ini ada orang asing yang mau memperhatikan mereka. Selama ini yang mereka lihat hanya sesama buruh, mandor, atau kendaraan yang lalu lalang. Tak lama kemudian mereka sudah asyik dengan pekerjaannya. Akupun terus berjalan. Tak mau mengganggu mereka yang sibuk bekerja itu.

    Sepanjang jalan kutemui papan penunjuk. Ada yang bertuliskan  ‘PEMBINAAN TAMAT’  guna menegaskan bahwa sebuah proyek jalan telah selesai dilaksanakan.

Ketika melalui jalan menikung, nampak papan bertuliskan  ‘LENCONGAN DI HADAPAN’.

Di sebuah jalan, nampak sebuah gubuk yang didirikan cukup tinggi. Seorang penjaga duduk di atasnya sambil membawa bendera hijau dan oranye. Beberapa meter dari gubuk itu, terpancang papan bertuliskan ‘JENTERA BERAT KELUAR/MASUK DI HADAPAN’. Petugas itu mengatur truk-truk berat, lori yang melalui jalan itu. Mereka harus bergilir berjalan satu persatu.

Ada juga papan bertuliskan ‘    KURANGKAN LAJU 30 KM/JAM’ yang artinya kecepatan maksimal kendaraan yang melalui tempat itu adalah 30 km per jam.

    Beberapa puluh meter dari buruh itu bekerja, menghampar dua kontena di tempat yang datar, terlindung oleh pepohonan. Di siang yang terik, tak bisa dibayangkan bagaimana panasnya jika para kuli bangunan itu tidur di sana. Di malam hari, kontena akan terasa sejuk.

    Di samping kontena terletak dua tong besar berisi air. Kurasa, agak susah mendapatkan air bersih di tempat ini. Air harus dialirkan dengan selang plastik dari sungai di atas bukit. Itulah sebabnya para buruh ini menampung air untuk memasak makanan. Aku sempat mencuri masuk sebuah kontena yang terbuka. Ada kompor gas lengkap dengan tabung gasnya, periuk, dan ceret. Kabel-kabel listrik beserta stop kontaknya bergantungan di luar. Kontena-kontena lain kutemukan di sepanjang perjalanan. Ada yang catnya sudah mengelupas dan tergeletak begitu saja, ada yang diberi atap seng sehingga lebih teduh bila siang menyengat. Inilah kongsi para buruh yang bekerja di sini.

Kontena ini nampak sunyi di hari ini. Tak nampak orang di dalam. Mungkin semua orang sedang bekerja. Kalau ada yang libur, mereka memilih pergi ke pusat kota atau menemui anak istinya di rumah sewa. Tak kutemukan seorang perempuan pun di dalam kontena, apalagi anak-anak. Kongsi ini benar-benar milik laki-laki.

    “Hei..indon ya..indon,” teriak seseorang dari jauh.

Nampak seorang buruh mengayunkan tangannya. Sementara beberapa kawannya hanya tertawa sambil memandang ke arahku. Mereka ada di bawah, di dekat jurang, berlaga dengan besi-besi dan tiang bangunan. Bergelantungan dengan sebuah tangan menggenggam las. Kulambaikan tanganku, sebagai isyarat bahwa teriakannya benar, bahwa aku orang indon. Mereka lalu bersorak. Tanpa menunda waktu, segera kuabadikan wajah mereka dengan kameraku.

    Indon. Bagi orang di negeriku panggilan itu sebuah penghinaan.

“Jangan merasa terhina jika nanti mereka akan memanggilmu orang indon,” nasihat Pak Teguh, mantan bosku, yang pernah memberiku proyek penelitian di Jakarta, menjelang keberangkatanku ke Malaysia dulu.

    Namun aku tidak merasa dihina atau direndahkan. Justru aku langsung akrab dengan panggilan itu. Aku sadar, begitu masuk Malaysia posisiku hanya sebagai buruh, tki, yang dipandang rendah oleh orang di negeriku, walau sering disanjung sebagai pahlawan devisa. Indon. Sebuah identitas yang tak mudah lepas di bekas jajahan Inggris ini.

    Dalam perjalananku kali ini, kerap kutemukan kuli bangunan di sepanjang pendakian menuju Balik Pulau. Tak banyak percakapan yang kubuat karena mereka sibuk bekerja. Ketika waktu istirahat tiba pun mereka memilih bersembunyi di balik kayu, besi, atau rebahan di bawah jembatan, ketimbang kembali ke kongsi. Ada yang menghabiskannya dengan minum. Ada yang tiduran. Tapi ada pula yang asyik bergayut, ngobrol dengan pacarnya lewat hp.

    Wajah-wajah Jawa langsung kukenali begitu berjalan mendekati mereka. Wajah Buton atau Flores, susah kubedakan karena mereka memiliki ciri fisik yang serupa. Nyaris tak ada orang melayu, kecuali kerani yang tadi kutemui. Ada juga keturunan India  di proyek ini. Tapi mereka bukan buruh kasar, melainkan sopir truk pengeruk, operator mesin, dan sejenisnya. Itu pun tak banyak jumlahnya. Ada juga orang-orang Bangladesh yang memasang batu, atau mengelas besi. Kurasa, kalau tak ada orang-orang Indonesia atau Bangladesh, mungkin jalan dan jembatan yang menghubungkan Georgetown dan Balik Pulau tak pernah terwujud. Jadi untuk apa aku malu diteriaki ‘....Indooooooon.....!’


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat