Maut
Novelet Oleh Anggie D. Widowati
(1)
Tiga sahabat Wardah, Sota dan Hendry duduk menikmati rokoknya masing-masing. Wardah gadis tomboi itu sesekali membuka telepon selulernya dan meletakkan kembali. Sota terus mengemil dengan wajah ceria, dia makin gembul namun tidak pernah peduli dengan kegembulannya.
Dan Hendry duduk tenang, meskipun hatinya sedang galau. Terbayang gadis sebelah kantornya yang begitu manis dan membuatnya semangat bekerja. Namanya Ratnasari Lukita.
"Lu nunggu telepon?" tanya Hendry pada Wardah.
Wardah mengepulkan asap rokok dan mengangguk. Poni di dahinya bergerak pelan.
"Klien, baru, dari kemarin gagal bertemu terus."
"Soal apa?"
"Dia pengen aku mengusir jin di rumahnya."
"Buset," celetuk Sota.
"Itu mudah bagiku, Ta."
"Lu nggak ngeri, Dah?"
"Namanya juga pekerjaan."
"Ramal gue deh," Hendry berucap.
Wardah menoleh pada Hendry sambil menyalakan rokok baru.
"Ramal soal apa?"
"Jodohlah."
"Hem, becanda kamu, aku enggak mau."
Hendry tertawa, kembali terbayang wajah Ratnasari yang cantik dan lembut itu.
"Malas meramal jomblo," ujar Sota, "kebanyakan maunya, pacar aja belum dapat pengen jodoh."
"Nah itu maksudku, Ta," kata Wardah menyetujui pendapat Sota.
"Tega kalian, tahu nggak di kantor sebelah ada gadis baru bernama Ratna. Cantik, lembut, gue yakin doi jadi jodoh gue," kata Hendry.
"Yaelah, udah jadian belum?" tanya Sota.
"Belum. Masih PDKT."
"Yah masih PDKT aja udah kepedean."
"Gue ngerasa begitu, kenapa mang, gaboleh?"
"Boleh aja sih, tergantung Wardahnya, mau gak, yakan Dah?"
"Kalau buat kalian mah gampang," celetuk Wardah mengangkat teleponnya yang berbunyi.
Lalu perempuan itu berdiri menjauhi dua sahabatnya untuk menerima telepon. Rambutnya terurai sebahu, dicat merah pada ujung kanan dan kirinya. Posturnya tinggi kurus. Beratnya tidak seimbang dengan tingginya. Dengan mengenakan celana jins dan kaos oblong nyaris tidak ada yang tahu kalau dia seorang paranormal. Wajahnya yang tirus terlalu imut untuk menjadi seorang paranormal.
"Ngemeng-ngemeng, jin kodam itu masih mengikutimu?" tanya Sota saat Wardah duduk kembali.
"Masih, maksudmu Romini, Ta? itu di belakangmu, " kata Wardah.
"Jangan bercanda kamu," kata Sota ketakutan.
"Dia ada di situ sejak tadi."
"Ngapain dia?"
"Nangkring di sandaran kursimu," kata Wardah.
"Busyet."
"Hahaha," Hendry tertawa.
"Besok pulang kerja gue ke rumah klien, mengusir hantu pocong di kamar anaknya."
"Hantu pocong?" kata Sota.
"Hahaha," Hendry lagi-lagi tertawa.
"Ntar gue kenalin," kata Wardah.
"Ogah amit-amit, kenalin kek sama cewek, pocong loe kenalin ke gue."
"Hahaha."
"Yodah kalau enggak mau," ujar Wardah.
"No thanks," kata Sota mengibaskan dua pergelangan tangannya menolak.
Wardah duduk kembali dan menyalakan rokoknya. Hendry pun mencecap kopinya dan suasana menjadi tenang. Sota
membungkukkan tubuhnya ke meja, tidak berani menyandar pada kursi. Dan bolak-balik menengok ke belakang, mungkin saja kodamnya Wardah mencolek-coleknya.
"Trus gue gimana?" tanya Hendry pada Wardah.
"Mintalah tanggal lahir dan nama lengkapnya, " kata Wardah.
Hendry Mengangguk.
(2)
Hendry menikahi Ratnasari dengan upacara sederhana. Sota maupun Wardah ikut datang ke rumah keluarga Hendry di Jawa untuk menghadiri upacara itu. Ratnasari begitu cantik, hidungnya mancung, rambutnya ikal bergelombang dan bibirnya tipis menawan.
Pernikahan itu dilaksanakan di rumah Hendry. Beberapa tamu masih datang malam itu. Di teras samping rumah, Sota, Wardah dan Hendry menghabiskan malam usai upacara pernikahan itu. Cemilan di meja penuh dan unik-unik, karena Hendry tinggal di desa. Suasana pesawahan yang gulita dengan anginnya yang dingin membuat menggigil.
"Istri lo cantik bener, gimana bisa mau dengan lo?" kata Sota meledek.
"Anjrit lo Ta, iri lo."
"Bukan iri, pernikahan ini, untung di lo, buntung di doi, Hen," kata Sota.
Wardah masih menikmati tokok Dji Sam Soenya, sementara dua sahabatnya sibuk bercanda dan saling ledek.
"Lo kapan pulang ke Jakarta, Hen?" tanya Wardah.
"Cuti cuma seminggu," kata Hendry.
"Besok gue sama Sota balik ya," kata Wardah.
"Iyaa, tapi loe belum sempet juga ramal gue," kata Hendry.
"Yah udah nikah ini apalagi yang mesti diramal," celetuk Sota.
"Yaudah, mana nama sama tanggal lahir, loe, juga nama dan tanggal lahir Ratna?"
Hendri masuk rumah untuk mengambil pensil dan kertas. Lalu duduk kembali dan menuliskan apa yang diminta Wardah. Wardah sedikit tersentak membaca tulisan itu. Lalu diletakkannya di meja.
"Lo gak mesti percaya dengan apa yang gue katakan, soalnya itu juga belum tentu benar."
"Udah to the point aja, Dah," Hendry tak sabar.
"Ntar anak lo pertama dan kedua laki-laki. Anak ketiga lo perempuan, tapi istri lo, kayanya diambil duluan."
Wajah Hendry memucat.
"What?"
"Udah jangan percaya seratus persen ramalan gue, mungkin penerawangan gue yang salah."
Bukan hanya Hendry, Sota pun terlihat pucat mendengar ramalan itu. Wardah berusaha mentupi bagaimana kagetnya dia dengan kertas yang diberikan kepadanya. Namun dia mencoba meyakini bahwa ramalan itu tidak seratus persen benar.
Gamelan berkumandang. Pentas wayang kulit sepertinya sudah dimulai. Suaranya nyaring membelah malam di desa itu. Tiga sahabat itu masih asyik dengan rokok dan kopinya di teras samping. Ramalan itu sudah dilupakan.
(3)
Wardah membenahi bedaknya dan mengikat kerudung hitamnya ke belakang. Wajahnya yang tirus terlihat lebih segar dengan mengenakan jilbab itu. Dari cermin dia bisa melihat Romini di belakang punggungnya.
Namun sekarang Wardah sudah tidak memedulikannya. Sesekali saja dia mengajak bicara dengan jin itu. Wardah sudah berhenti menjadi parnormal.
Dengan menggunakan ojek online Wardah menuju sekolah. Sejak sepuluh tahun yang lalu, Wardah keluar dari tempatnya bekerja dulu bersama dua sahabatnya Sota dan Hendry. Wardah memilih menjadi guru.
Sepulang dari pernikahan Hendry, Wardah sempat mengusir beberapa jin jahat dan dibayar. Dia juga masih meramal nasib beberapa orang kliennya di rumah kontrakannya di luar jam kantor.
Namun kemudian dia memutuskan berhenti dari kantor sebelumnya karena terus menerus diteror karyawan lain yang tak suka padanya. Hendry dan Sota tahu permasalahan Wardah di kantor. Dan mereka tak bisa mencegah ketika Wardah pamit keluar.
"Kalian kan bisa menelpon kalau ingin bertemu," kata Wardah.
"Iyaa sih, cuma kalau begini, artinya kamu ini kalah," kata Sota.
"Aku capek Ta, setiap hari mendapatkan sikap yang tidak enak, difitnah," kata Wardah.
"Kelihatannya dia iri padamu, Dah," kata Hendry.
"Aku sudah tahu sejak lama," jawab Wardah.
"Kenapa tidak minta bantuan Romini?" usul Sota.
"Tidak Ta, Romini bisa berbahaya kalau harus melakukan pembalasan."
Mereka pun berpisah dalam kesedihan. Namun kesedihan itu tak bertahan lama, ketika Hendry mulai sibuk dengan keluarganya dan Sota juga menikah selang beberapa bulan setelahnya. Wardah lebih enak melenggang menuju hidupnya yang baru.
Awal-awal mengajar, Wardah masih menerima klien-kliennya untuk diramal. Penghasilan dari dunia paranormal ini, bisa dibilang lumayan dari gajinya sebagai guru yang tak seberapa. Hal lain, dia merasa lebih tenang dan nyaman bersama anak-anak, karena orang indigo seperti dia memang lebih cocok berada di antara naka-anak yang tanpa dosa.
Di dunianya yang baru ini, kemudian dia memutuskan untuk berhenti menjadi paranormal. Semua kemampuan yang dimilikinya diabaikan. Tidak menerima lagi panggilan untuk mengusir jin dan tak mau lagi dibayar demi sebuah ramalan. Wardah mulai belajar agama dan mulai mengenakan jilbab.
Dan setelah belajar pada seorang kiai, Wardah memutuskan sama sekali dengan dunia paranormal. Sekarang dia adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta. Hidupnya lebih tenang dan menyenangkan. Tidak lagi berhubungan dengan mahkluk-makhluk halus. Meskipun Romini masih mengikutinya.
(4)
Pada sebuah halte Busway.
Mewakili sekolahnya kadang Wardah mengikuti seminar-seminar dunia pendidikan. Bila lokasinya dekat, wardah naik ojek online atau angkot. Namun bila lokasi jauh, Wardah memilih naik kereta komuter atau Busway.
Seperti juga pagi itu, Wardah menuju Kelapa Gading untuk mengikuti seminar anak autis.
Di halte itu, seorang laki-laki mendekatinya, lalu memanggil namanya. Lelaki itu sedikit kurus, dia menggandeng dua orang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun.
"Wardah?" dengan takut-takut dia menyapa perempuan itu.
Wardah menoleh. Dipandanginya lelaki itu, rambutnya dipotong pendek deperti tentara, kulitnya gelap dan dia menuntun dua bocah.
"Siapa ya?" Wardah ragu-ragu menjawab.
"Ini Hendry, masak kamu lupa."
"Ya Allah, Hen, kau lebih kurus dan hitam, aku sampai pangling," kata Wardah mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Ini siapa?"
"Zaky dan Zidan, mereka kembar."
"Ya Allah gantengnya."
"Masih ada satu lagi di rumah, Lintang, cewek."
"Anakmu tiga?"
"Iyaa, persis seperti ramalanmu."
"Gimana kabarnya Ratna?"
"Seperti ramalanmu juga, Ratna sudah dipanggil olehNya," kata Hendry dengan mata basah.
"Oh Tuhan, Ya Allah, Hendry, apa yang terjadi."
"Ratna meninggal saat melahirkan Lintang."
Seketika lunglailah Wardah dan kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Dia jatuh terduduk di bangku halte. Hendry memalingkan pandangan ke luar jendela halte. Memandangi motor dan mobil yang diparkir berjajar rapi di parkiran halte itu.
"Maafkan aku Hen," kata Wardah kemudian.
"Kamu tidak salah."
"Aku sudah tidak meramal lagi," jawab Wardah.
"Oh itu bagus."
Wardah tahu Hendry tidak seperti yang dulu, yang ganteng, ramah, baik dan pengertian. Biarpun dia berkata bahwa Wardah tak bersalah atas ramalan itu, Wardah bisa merasakan bahwa Hendry kecewa dan sedikit berubah padanya.
(5)
Zaky dan Zidan berumur sepuluh tahun, sementara Lintang 7 tahun. Usia mereka selisih tiga tahun. Jadi sudah 7 tahun ini Ratna meninggal. Dia meninggal seumuran dengan Lintang.
Setelah menikah Hendry membeli rumah kecil di pinggiran Jakarta dengan cara mencicil. Mereka pun kemudian dikaruniai anak kembar setelah setahun menikah. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Hendry bisa mendapatkan putera dari istri yang sangat dia cintai.
Setelah dua anaknya berumur dua tahun, Ratna melepas kontrasepsinya dan ingin segera punya anak kembali.
"Jangan buru-buru sayang, kembar kan masih kecil," kata Hendry mendengar keputusan istrinya.
"Aku copot sekarang tidak masalah, toh belum tentu langsung jadi," jawab Ratna.
"Iya sih."
Namun tak lama setelah itu, Ratna hamil lagi. Dan alangkah bahagianya Hendry setelah tahu bila bayi di dalam kandungan itu adalah seorang bayi perempuan. Lengkaplah sudah, memiliki 2 anak laki-laki dan satu anak perempuan.
Hari kelahiran bayi itu pun tiba. Hendry mengantar Wardah ke Rumah Sakit dan bayi perempuan itu tak juga mau keluar. Sepertinya dia tersngkut karena sungsang. Padahal sebelumnya posisinya sudah bagus. Dokter juga sedikit kaget karena tensi Ratna melonjak sampai 200. Maka diputuskan untuk mengoperasinya.
"Ini puteri anda Pak, perempuan, bayinya bisa diselamatkan, namun ibunya tidak," begitu kata dokter usai operasi.
"Oh Tuhan," kaki Hendry lemas dan dia terjatuh di lantai.
Entah mengapa Wardah selalu ingin mengunjungi Hendry dan keluarganya. Hendry masih belum stabil meskipun tujuh tahun berlalu sejak kepergian istrinya. Dan mirip Ratna, Lintang adalah seorang gadis cilik yang cantik, dengan kulit kuning langsat dan wajah panjang.
Karena sering bersama anak-anak, Wardah cepat beradaptasi dengan Zaky, Zidan maupun Lintang. Kadang Hendry menitipkan anak-anaknya kepada Wardah, bila dia ada pekerjaan sampai malam atau ke luar kota.
"Tante Wardah, Lintang ingin ulang tahun kali ini di rayakan," kata Lintang suatu hari.
"Bilang Papamu."
"Tidak berani."
"Kenapa?"
"Jangankan ngerayain, ngucapin ulang tahun saja Papa tidak mau."
"Papamu sibuk sayang."
"Aku enggak mau dirayakan berlebihan dan mewah-mewah, di rumah saja sama kakak."
"Baik nanti Tante yang bilang."
Keluhan Lintang itu awalnya hanya dianggap remeh oleh Wardah. Mungkin saja Hendry terlalu sibuk dengan pekerjaan, atau tidak sempat. Memiliki tiga anak kecil, bagi seorang duda adalah berat.
"Kau ingat ini bulan apa, Hen?" tanya Wardah esoknya.
"Mei."
"Minggu depan, Lintang ulang tahun, dia pengen dirayain," kata Wardah.
"Tidak."
"Hendry, dia hanya anak kecil, dia cuma ingin pesta kecil, lupakan sejenak pekerjaanmu."
"Tidak."
"Kau bisa ambil cuti."
"Tidak, Wardah, aku tidak bisa."
"Tapi kenapa, biar aku yang urus semuanya."
"Tidak perlu."
"Kenapa sih?"
"Karena hari ulang tahun Lintang bersamaan dengan kematian Ratna."
Wardah langsung diam. Wajah Hendry terlihat marah dan tersinggung atas permintaan itu. Bagaimana menjelaskan situasi itu pada anak kecil. Yang ada juga air matanya berlelehan di pipi Wardah.
Jakarta, 12 Mei 2018
(1)
Tiga sahabat Wardah, Sota dan Hendry duduk menikmati rokoknya masing-masing. Wardah gadis tomboi itu sesekali membuka telepon selulernya dan meletakkan kembali. Sota terus mengemil dengan wajah ceria, dia makin gembul namun tidak pernah peduli dengan kegembulannya.
Dan Hendry duduk tenang, meskipun hatinya sedang galau. Terbayang gadis sebelah kantornya yang begitu manis dan membuatnya semangat bekerja. Namanya Ratnasari Lukita.
"Lu nunggu telepon?" tanya Hendry pada Wardah.
Wardah mengepulkan asap rokok dan mengangguk. Poni di dahinya bergerak pelan.
"Klien, baru, dari kemarin gagal bertemu terus."
"Soal apa?"
"Dia pengen aku mengusir jin di rumahnya."
"Buset," celetuk Sota.
"Itu mudah bagiku, Ta."
"Lu nggak ngeri, Dah?"
"Namanya juga pekerjaan."
"Ramal gue deh," Hendry berucap.
Wardah menoleh pada Hendry sambil menyalakan rokok baru.
"Ramal soal apa?"
"Jodohlah."
"Hem, becanda kamu, aku enggak mau."
Hendry tertawa, kembali terbayang wajah Ratnasari yang cantik dan lembut itu.
"Malas meramal jomblo," ujar Sota, "kebanyakan maunya, pacar aja belum dapat pengen jodoh."
"Nah itu maksudku, Ta," kata Wardah menyetujui pendapat Sota.
"Tega kalian, tahu nggak di kantor sebelah ada gadis baru bernama Ratna. Cantik, lembut, gue yakin doi jadi jodoh gue," kata Hendry.
"Yaelah, udah jadian belum?" tanya Sota.
"Belum. Masih PDKT."
"Yah masih PDKT aja udah kepedean."
"Gue ngerasa begitu, kenapa mang, gaboleh?"
"Boleh aja sih, tergantung Wardahnya, mau gak, yakan Dah?"
"Kalau buat kalian mah gampang," celetuk Wardah mengangkat teleponnya yang berbunyi.
Lalu perempuan itu berdiri menjauhi dua sahabatnya untuk menerima telepon. Rambutnya terurai sebahu, dicat merah pada ujung kanan dan kirinya. Posturnya tinggi kurus. Beratnya tidak seimbang dengan tingginya. Dengan mengenakan celana jins dan kaos oblong nyaris tidak ada yang tahu kalau dia seorang paranormal. Wajahnya yang tirus terlalu imut untuk menjadi seorang paranormal.
"Ngemeng-ngemeng, jin kodam itu masih mengikutimu?" tanya Sota saat Wardah duduk kembali.
"Masih, maksudmu Romini, Ta? itu di belakangmu, " kata Wardah.
"Jangan bercanda kamu," kata Sota ketakutan.
"Dia ada di situ sejak tadi."
"Ngapain dia?"
"Nangkring di sandaran kursimu," kata Wardah.
"Busyet."
"Hahaha," Hendry tertawa.
"Besok pulang kerja gue ke rumah klien, mengusir hantu pocong di kamar anaknya."
"Hantu pocong?" kata Sota.
"Hahaha," Hendry lagi-lagi tertawa.
"Ntar gue kenalin," kata Wardah.
"Ogah amit-amit, kenalin kek sama cewek, pocong loe kenalin ke gue."
"Hahaha."
"Yodah kalau enggak mau," ujar Wardah.
"No thanks," kata Sota mengibaskan dua pergelangan tangannya menolak.
Wardah duduk kembali dan menyalakan rokoknya. Hendry pun mencecap kopinya dan suasana menjadi tenang. Sota
membungkukkan tubuhnya ke meja, tidak berani menyandar pada kursi. Dan bolak-balik menengok ke belakang, mungkin saja kodamnya Wardah mencolek-coleknya.
"Trus gue gimana?" tanya Hendry pada Wardah.
"Mintalah tanggal lahir dan nama lengkapnya, " kata Wardah.
Hendry Mengangguk.
(2)
Hendry menikahi Ratnasari dengan upacara sederhana. Sota maupun Wardah ikut datang ke rumah keluarga Hendry di Jawa untuk menghadiri upacara itu. Ratnasari begitu cantik, hidungnya mancung, rambutnya ikal bergelombang dan bibirnya tipis menawan.
Pernikahan itu dilaksanakan di rumah Hendry. Beberapa tamu masih datang malam itu. Di teras samping rumah, Sota, Wardah dan Hendry menghabiskan malam usai upacara pernikahan itu. Cemilan di meja penuh dan unik-unik, karena Hendry tinggal di desa. Suasana pesawahan yang gulita dengan anginnya yang dingin membuat menggigil.
"Istri lo cantik bener, gimana bisa mau dengan lo?" kata Sota meledek.
"Anjrit lo Ta, iri lo."
"Bukan iri, pernikahan ini, untung di lo, buntung di doi, Hen," kata Sota.
Wardah masih menikmati tokok Dji Sam Soenya, sementara dua sahabatnya sibuk bercanda dan saling ledek.
"Lo kapan pulang ke Jakarta, Hen?" tanya Wardah.
"Cuti cuma seminggu," kata Hendry.
"Besok gue sama Sota balik ya," kata Wardah.
"Iyaa, tapi loe belum sempet juga ramal gue," kata Hendry.
"Yah udah nikah ini apalagi yang mesti diramal," celetuk Sota.
"Yaudah, mana nama sama tanggal lahir, loe, juga nama dan tanggal lahir Ratna?"
Hendri masuk rumah untuk mengambil pensil dan kertas. Lalu duduk kembali dan menuliskan apa yang diminta Wardah. Wardah sedikit tersentak membaca tulisan itu. Lalu diletakkannya di meja.
"Lo gak mesti percaya dengan apa yang gue katakan, soalnya itu juga belum tentu benar."
"Udah to the point aja, Dah," Hendry tak sabar.
"Ntar anak lo pertama dan kedua laki-laki. Anak ketiga lo perempuan, tapi istri lo, kayanya diambil duluan."
Wajah Hendry memucat.
"What?"
"Udah jangan percaya seratus persen ramalan gue, mungkin penerawangan gue yang salah."
Bukan hanya Hendry, Sota pun terlihat pucat mendengar ramalan itu. Wardah berusaha mentupi bagaimana kagetnya dia dengan kertas yang diberikan kepadanya. Namun dia mencoba meyakini bahwa ramalan itu tidak seratus persen benar.
Gamelan berkumandang. Pentas wayang kulit sepertinya sudah dimulai. Suaranya nyaring membelah malam di desa itu. Tiga sahabat itu masih asyik dengan rokok dan kopinya di teras samping. Ramalan itu sudah dilupakan.
(3)
Wardah membenahi bedaknya dan mengikat kerudung hitamnya ke belakang. Wajahnya yang tirus terlihat lebih segar dengan mengenakan jilbab itu. Dari cermin dia bisa melihat Romini di belakang punggungnya.
Namun sekarang Wardah sudah tidak memedulikannya. Sesekali saja dia mengajak bicara dengan jin itu. Wardah sudah berhenti menjadi parnormal.
Dengan menggunakan ojek online Wardah menuju sekolah. Sejak sepuluh tahun yang lalu, Wardah keluar dari tempatnya bekerja dulu bersama dua sahabatnya Sota dan Hendry. Wardah memilih menjadi guru.
Sepulang dari pernikahan Hendry, Wardah sempat mengusir beberapa jin jahat dan dibayar. Dia juga masih meramal nasib beberapa orang kliennya di rumah kontrakannya di luar jam kantor.
Namun kemudian dia memutuskan berhenti dari kantor sebelumnya karena terus menerus diteror karyawan lain yang tak suka padanya. Hendry dan Sota tahu permasalahan Wardah di kantor. Dan mereka tak bisa mencegah ketika Wardah pamit keluar.
"Kalian kan bisa menelpon kalau ingin bertemu," kata Wardah.
"Iyaa sih, cuma kalau begini, artinya kamu ini kalah," kata Sota.
"Aku capek Ta, setiap hari mendapatkan sikap yang tidak enak, difitnah," kata Wardah.
"Kelihatannya dia iri padamu, Dah," kata Hendry.
"Aku sudah tahu sejak lama," jawab Wardah.
"Kenapa tidak minta bantuan Romini?" usul Sota.
"Tidak Ta, Romini bisa berbahaya kalau harus melakukan pembalasan."
Mereka pun berpisah dalam kesedihan. Namun kesedihan itu tak bertahan lama, ketika Hendry mulai sibuk dengan keluarganya dan Sota juga menikah selang beberapa bulan setelahnya. Wardah lebih enak melenggang menuju hidupnya yang baru.
Awal-awal mengajar, Wardah masih menerima klien-kliennya untuk diramal. Penghasilan dari dunia paranormal ini, bisa dibilang lumayan dari gajinya sebagai guru yang tak seberapa. Hal lain, dia merasa lebih tenang dan nyaman bersama anak-anak, karena orang indigo seperti dia memang lebih cocok berada di antara naka-anak yang tanpa dosa.
Di dunianya yang baru ini, kemudian dia memutuskan untuk berhenti menjadi paranormal. Semua kemampuan yang dimilikinya diabaikan. Tidak menerima lagi panggilan untuk mengusir jin dan tak mau lagi dibayar demi sebuah ramalan. Wardah mulai belajar agama dan mulai mengenakan jilbab.
Dan setelah belajar pada seorang kiai, Wardah memutuskan sama sekali dengan dunia paranormal. Sekarang dia adalah seorang guru di sebuah sekolah swasta. Hidupnya lebih tenang dan menyenangkan. Tidak lagi berhubungan dengan mahkluk-makhluk halus. Meskipun Romini masih mengikutinya.
(4)
Pada sebuah halte Busway.
Mewakili sekolahnya kadang Wardah mengikuti seminar-seminar dunia pendidikan. Bila lokasinya dekat, wardah naik ojek online atau angkot. Namun bila lokasi jauh, Wardah memilih naik kereta komuter atau Busway.
Seperti juga pagi itu, Wardah menuju Kelapa Gading untuk mengikuti seminar anak autis.
Di halte itu, seorang laki-laki mendekatinya, lalu memanggil namanya. Lelaki itu sedikit kurus, dia menggandeng dua orang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun.
"Wardah?" dengan takut-takut dia menyapa perempuan itu.
Wardah menoleh. Dipandanginya lelaki itu, rambutnya dipotong pendek deperti tentara, kulitnya gelap dan dia menuntun dua bocah.
"Siapa ya?" Wardah ragu-ragu menjawab.
"Ini Hendry, masak kamu lupa."
"Ya Allah, Hen, kau lebih kurus dan hitam, aku sampai pangling," kata Wardah mengulurkan tangan untuk bersalaman.
"Ini siapa?"
"Zaky dan Zidan, mereka kembar."
"Ya Allah gantengnya."
"Masih ada satu lagi di rumah, Lintang, cewek."
"Anakmu tiga?"
"Iyaa, persis seperti ramalanmu."
"Gimana kabarnya Ratna?"
"Seperti ramalanmu juga, Ratna sudah dipanggil olehNya," kata Hendry dengan mata basah.
"Oh Tuhan, Ya Allah, Hendry, apa yang terjadi."
"Ratna meninggal saat melahirkan Lintang."
Seketika lunglailah Wardah dan kakinya tak mampu menopang tubuhnya. Dia jatuh terduduk di bangku halte. Hendry memalingkan pandangan ke luar jendela halte. Memandangi motor dan mobil yang diparkir berjajar rapi di parkiran halte itu.
"Maafkan aku Hen," kata Wardah kemudian.
"Kamu tidak salah."
"Aku sudah tidak meramal lagi," jawab Wardah.
"Oh itu bagus."
Wardah tahu Hendry tidak seperti yang dulu, yang ganteng, ramah, baik dan pengertian. Biarpun dia berkata bahwa Wardah tak bersalah atas ramalan itu, Wardah bisa merasakan bahwa Hendry kecewa dan sedikit berubah padanya.
(5)
Zaky dan Zidan berumur sepuluh tahun, sementara Lintang 7 tahun. Usia mereka selisih tiga tahun. Jadi sudah 7 tahun ini Ratna meninggal. Dia meninggal seumuran dengan Lintang.
Setelah menikah Hendry membeli rumah kecil di pinggiran Jakarta dengan cara mencicil. Mereka pun kemudian dikaruniai anak kembar setelah setahun menikah. Sebuah kebahagiaan tersendiri bagi Hendry bisa mendapatkan putera dari istri yang sangat dia cintai.
Setelah dua anaknya berumur dua tahun, Ratna melepas kontrasepsinya dan ingin segera punya anak kembali.
"Jangan buru-buru sayang, kembar kan masih kecil," kata Hendry mendengar keputusan istrinya.
"Aku copot sekarang tidak masalah, toh belum tentu langsung jadi," jawab Ratna.
"Iya sih."
Namun tak lama setelah itu, Ratna hamil lagi. Dan alangkah bahagianya Hendry setelah tahu bila bayi di dalam kandungan itu adalah seorang bayi perempuan. Lengkaplah sudah, memiliki 2 anak laki-laki dan satu anak perempuan.
Hari kelahiran bayi itu pun tiba. Hendry mengantar Wardah ke Rumah Sakit dan bayi perempuan itu tak juga mau keluar. Sepertinya dia tersngkut karena sungsang. Padahal sebelumnya posisinya sudah bagus. Dokter juga sedikit kaget karena tensi Ratna melonjak sampai 200. Maka diputuskan untuk mengoperasinya.
"Ini puteri anda Pak, perempuan, bayinya bisa diselamatkan, namun ibunya tidak," begitu kata dokter usai operasi.
"Oh Tuhan," kaki Hendry lemas dan dia terjatuh di lantai.
Entah mengapa Wardah selalu ingin mengunjungi Hendry dan keluarganya. Hendry masih belum stabil meskipun tujuh tahun berlalu sejak kepergian istrinya. Dan mirip Ratna, Lintang adalah seorang gadis cilik yang cantik, dengan kulit kuning langsat dan wajah panjang.
Karena sering bersama anak-anak, Wardah cepat beradaptasi dengan Zaky, Zidan maupun Lintang. Kadang Hendry menitipkan anak-anaknya kepada Wardah, bila dia ada pekerjaan sampai malam atau ke luar kota.
"Tante Wardah, Lintang ingin ulang tahun kali ini di rayakan," kata Lintang suatu hari.
"Bilang Papamu."
"Tidak berani."
"Kenapa?"
"Jangankan ngerayain, ngucapin ulang tahun saja Papa tidak mau."
"Papamu sibuk sayang."
"Aku enggak mau dirayakan berlebihan dan mewah-mewah, di rumah saja sama kakak."
"Baik nanti Tante yang bilang."
Keluhan Lintang itu awalnya hanya dianggap remeh oleh Wardah. Mungkin saja Hendry terlalu sibuk dengan pekerjaan, atau tidak sempat. Memiliki tiga anak kecil, bagi seorang duda adalah berat.
"Kau ingat ini bulan apa, Hen?" tanya Wardah esoknya.
"Mei."
"Minggu depan, Lintang ulang tahun, dia pengen dirayain," kata Wardah.
"Tidak."
"Hendry, dia hanya anak kecil, dia cuma ingin pesta kecil, lupakan sejenak pekerjaanmu."
"Tidak."
"Kau bisa ambil cuti."
"Tidak, Wardah, aku tidak bisa."
"Tapi kenapa, biar aku yang urus semuanya."
"Tidak perlu."
"Kenapa sih?"
"Karena hari ulang tahun Lintang bersamaan dengan kematian Ratna."
Wardah langsung diam. Wajah Hendry terlihat marah dan tersinggung atas permintaan itu. Bagaimana menjelaskan situasi itu pada anak kecil. Yang ada juga air matanya berlelehan di pipi Wardah.
Jakarta, 12 Mei 2018
Tirus ,sejenak aku menghayal ..oh tinggi kurus
BalasHapus