Polarisasi Politik Memicu Retaknya Integrasi Umat IslamPolitik

Oleh: Dr M Alfan Alfian M Msi, Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Unas, Pengurus Pusat HIPIIS

Hari-hari ini, kita merasakan polarisasi politik elite dan umat Islam menajam. Pilpres 2019 yang hanya diikuti dua pasang kandidat sama-sama menghadirkan klaim dan simbol akomodasi aspirasi Islam.

Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno menunjukkan dalam ijtima' ulama dan memanfaatkan panggung Reuni 212. Joko Widodo dan Ma’ruf Amin gencar meyakinkan komitmennya pada aspirasi Islam dan pemajuan pesantren.

Spektrum elite pemimpin umat ada di kedua kubu dan turut berkontestasi pengaruh. Referensi politik umat Islam pada Pilpres 2019 pun tidak tunggal. Panutan mereka tidak dominan di satu kubu.

Polarisasi dan hiruk-pikuknya di level umat, tak jauh dari cerminan di level elite. Di ranah organisasi sosial kemasyarakatan Islam, secara formal independen tetapi para elitenya, dalam batas tertentu, justru tak segan menunjukkan corak afiliasi politiknya.

Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, punya penyikapan masing-masing terhadap realitas politik kontestatif Pilpres 2019. Muhammadiyah tampak enggan ditarik ke politik dan ingin sekadar menjadi jembatan.

NU terasa lebih proaktif mendukung pasangan tertentu, dalam konteks hubungan strategisnya dengan Kiai Ma’ruf Amin. Terlepas dari itu, keberadaan pemilih Muslim tidak dapat diabaikan. Mereka mayoritas kendati corak keberagamaannya gradatif.

Sentimen identitas keislaman sebagai basis corak pemilih sosiologis naik turun berimbas ke fluktuasi dukungan elektoral dalam pemilu. Terlepas pro dan kontra kalahnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, berikut analisis sentimen politik identitas, isu anti-Islam sungguh sensitif. Para kandidat tak dapat mengabaikannya.

Polarisasi merupakan keniscayaan alamiah dalam kontestasi demokrasi, ketika para aktor sibuk berebut dukungan. Umat Islam sebagai bagian integral dari masyarakat pemilih (voters) tak terelakkan dihadapkan pada ragam pilihan.

Demokrasi memungkinkan perbedaan pendapat dan pilihan politik, terdorong berbagai faktor dan pertimbangan. Politik ada, catat ilmuwan politik Andrew Heywood, karena satu pihak dengan lainnya berbeda pendapat, sebagai cermin perbedaan kepentingan.

Dinamikanya lazim diwarnai keriuhan. Politik membuka ruang konflik dan jor-joran kekuatan (show of force). Kini, baik ulama maupun umat punya tantangan sama dengan warga bangsa lainnya ketika menghadapi menyuburnya hoaks di media sosial.

Mereka berpotensi mudah terjebak di labirin hoaks yang memicu hadirnya ragam ujaran kebencian dan pelanggengan konflik. Perbedaan politik langsung menajam akibat hoaks.

Tradisi tabayun atau konfirmasi yang diharapkan menguat, mudah rusak tertimpa kepentingan. Masyarakat berharap peran konfirmatif media massa arus utama. Namun, sering kali karena ada kalanya media massa terlalu “semangat berpolitik”, masyarakat tidak bisa lagi sepenuhnya percaya.

Padahal, pada masa kita, juga menggejala apa yang disampaikan Tom Nichols sebagai the death of expertise, matinya kepakaran. Sebagian umat mengalami gejala demikian, ketika ada ulama-ulama idolanya berbeda pilihan politik.

Kredibilitas ulama cepat jatuh karena politik. Sebagian umat, lazimnya generasi milenial, karenanya cenderung lebih memilih corak beragama, apa yang pernah disitir Kuntowijoyo, “Muslim tanpa masjid”. Mereka lebih suka berguru ke sumber-sumber digital.

Red: Elba Damhuri

Polarisasi memicu risiko retaknya, apa yang dulu disampaikan Nurcholish Madjid sebagai integrasi umat. Kuntowijoyo juga punya kekhawatiran demikian. Di awal era reformasi sejarawan cendekia ini pernah menyarankan agar umat Islam tidak mendirikan partai politik.

Dia berdalih, politik itu miopik, kacamata kuda, sehingga umat bisa jauh dari objektivikasi. Kekhawatiran itu lazim semata, kendati praktiknya cukup mustahil karena demokrasi memberi peluang bagi siapa saja yang mencoba tampil dan bersaing.

Tradisi kontestasi sudah cukup terpola sejak kemerdekaan yang akar-akarnya bisa dilacak jauh semasa era kolonial. Elite politik Islam yang berbeda pandangan suka mendivergensi kelembagaan.

Kontestasi elektoral pertama kali pascakemerdekaan, Pemilu 1955, menggambarkan hal tersebut. Semula memang ada satu kekuatan kelembagaan politik, Masyumi. Namun, divergensi terjadi, ketika 1947 Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) berdiri, lantas pada 1952 Nahdlatul Ulama (NU) keluar dari Masyumi.

Masyumi tetap yang terbesar di antara partai-partai Islam lainnya, bahkan secara kursi setara dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Bayangkan jika Masyumi secara kelembagaan tidak pecah, pastilah kelompok Islam mayoritas di parlemen.

Perpecahan yang mewujud di ranah identitas politik kelembagaan itu, lazim terpicu konflik antarelite yang punya pikiran dan kemauan masing-masing berbeda. Egoisme politik turut mewarnai realitas divergensi, bahkan sejak era Sarekat Islam.

Tentu juga ada faktor luar dan dinamika yang menyebabkan divergensi terjadi. Namun, pertikaian internal cukup dominan. Dampaknya, popularitas anjlok.

Dalam kasus masa kini, anjloknya dukungan elektoral terjadi seiring gencarnya penetrasi partai-partai terbuka yang ramai-ramai membuka peluang bagi aspirasi dan simbolik Islam. Corak kontestasi masa kini tidak lagi politik aliran.

Bagaimana dengan konteks integrasi umat? Kalau yang dimaksud integrasi politik, mustahil rasanya. Sejarah dan realitas kepolitikan Indonesia, belum menunjukkan pola ke konvergensi politik Islam. Apalagi, manakala yang dimaksud konvergensi itu, satu partai Islam.

Maka, integrasi umat di tengah realitas polarisasi politik yang akan selalu hadir dalam setiap pemilu, harus lebih kita maknai dari perspektif budaya demokrasi. Integrasi di sini dinamis, bagaimana umat Islam di negara demokrasi, mampu bersaing dan bertanding secara demokratis, tetapi persaudaraan (ukhuwah) tetap terjaga.

Senin, 28 Jan 2019 (Republika)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat