10. Wa Gureh
Catatan Perjalanan: Ari Handayani
Menjelang dua bulan tinggal di kongsi, aku mendapat teman perempuan baru. Kak Ida namanya. Kuingat hari itu seorang laki-laki kawan kepala kerja datang ke kongsi membawa istrinya, perempuan bertubuh subur, dan anak perempuannya yang masih balita. Lelaki itu sebelumnya sudah menetap di kongsi kami. Padahal kerjanya di proyek tetangga, seratus lima puluh meter dari kongsi kami. Sering kulihat lelaki itu di dapur, menumpang masak atau sedang makan bersama kepala kerja. Ketika membawa keluarganya, kupikir dia hanya mampir. Rupanya dia berniat menetap di kongsi kami. Mula-mula, mereka tinggal di kamar kepala, yang letaknya di samping kamarku. Setelah dua minggu, mereka pindah ke kamarnya sendiri, satu kontena dengan Anshar.
Kak Ida orangnya ramah dan cepat akrab dengan orang lain. Perempuan Aceh keturunan Jawa ini bertutur, dulu pernah tinggal di Taman Pelangi, di blok M.
“Aku dulu kerja di kilang Marthel.”
“Enak kerja di situ Kak?”
“Lumayan..agak bebas. Aku kerja sampai empat tahun.”
“Kenapa keluar Kak?”
“Hamil ini,” tunjuknya kepada balita berumur sekitar dua tahun yang tak bisa diam itu.
Kak Ida masih bekerja hingga kandungannya menjelang tujuh bulan. Ketika dia merasa sudah sulit merahasiakan kehamilannya, Kak Ida lari ikut suaminya. Untung suaminya memiliki permit kerja, dan Kak Ida memegang paspor sendiri. Marthel, merupakan sedikit pabrik yang membiarkan buruhnya memegang paspor sendiri. Tak banyak pabrik seperti itu. Umumnya paspor ditahan pabrik dan baru dibagikan ke pekerjanya jika balik cuti atau habis kontrak. Buruh atau pekerja hanya dibekali fotokopi paspor dan permit. Kadang pekerja dilengkapi dengan kartu biru, kartu identitas bagi pekerja asing.
“Wah..jadi anak Kak Ida dapat IC Malaysia dong,” aku memuji.
“Nggak dapat. Aku melahirkan di Hospital Seberang Jaya. Waktu kami keluar dari hospital, abang masih punya hutang.”
Kak Ida melahirkan sebelum waktunya lewat operasi caesar. Bea rumah sakit yang harus dibayar dua ribu tujuh ratus ringgit, namun suaminya hanya mampu membayar tujuh ratus ringgit. Akibatnya anak Kak Ida tak mendapatkan IC Malaysia, karena pihak rumah sakit tak mau mengeluarkan surat keterangan kelahiran.
“Kosong dong Kak.”
“Iya..”
“Kak Ida..?”
“Juga kosong sekarang. Permitku dah lama mati, dah lebih setahun.”
“Untung abang Kakak ada permit.”
“Iya..makanya aku maksa ikut kemari. Biar aman.”
Sebelumnya, Kak Ida dan anaknya tinggal di sebuah kongsi di Juru, beberapa kilometer dari Taman Pelangi. Namun dia merasa tidak aman. Kongsi itu kerap diras. Kak Ida pernah membawa anaknya lari ke atas bukit ketika ada ras. Sementara suaminya hidup dengan tenang di Tanjung Tokong. Itu yang membuat Kak Ida memaksa datang membawa anaknya, padahal suaminya belum menerima gaji dan tak mendapat kongsi. Mereka akhirnya menumpang di kongsi kami atas ijin kepala kerja. Sebagai balasan, Kak Ida memasakkan makanan buat kepala kerja dan orang-orang kongsi. Kepala kerja lalu menggratiskan Kak Ida dan anaknya makan. Hanya suaminya yang harus membayar iuran makan setiap bulan.
Kehadiran bocah berumur dua tahun itu memberi suasana baru di kongsi kami. Celotehnya yang riang dan tiada henti, kerap menjadi perhatian orang. Namanya Wurniyati, namun ibu-bapaknya lebih suka memanggilnya anak. Jadi kalau si bocah ditanya siapa namanya, jawabnya ‘anak..!’
Setiap pagi bocah itu sudah berlari, menyusul mamaknya yang sedang mencuci piring, panci, dan perkakas bekas makan malam. Ketika sang mamak sibuk menanak nasi, sang bocah akan berjalan memasuki kontena-kontena yang terbuka pintunya, mengintip penghuninya. Tiba-tiba dia sudah berdiri di depan kamarku, membuka pintu kamar, dan masuk tanpa diundang. Tanpa rasa takut. Tak juga rasa malu. Ditanyainya nama satu persatu benda di atas meja. Lalu diulangnya pertanyaan itu. Bocah berambut keriting, bertubuh kurus dan berperawakan panjang itu seolah tak punya rasa lelah. Dijelajahinya semua kamar. Disapanya semua penghuni kongsi. Hanya sekejap dia menjadi primadona kongsi. Semua sayang kepadanya. Bang Mansur memanggilnya Gureh atau Wa Gureh, panggilan bahasa Muna buat anak perempuan. Sebentar kemudian semua orang memanggilnya dengan nama Gureh..!
Gureh kecil benar-benar peranakan kongsi. Percampuran antara ibu Aceh dan bapak Muna begitu sempurna. Sekilas, tak nampak dia seperti anak Buton, Muna, atau Sulawesi lainnya. Wajahnya bersih, cantik, seperti umumnya orang Aceh. Ujung rambutnya keriting, perawakannya tinggi panjang macam bapaknya. Sang bapak sangat bangga kepada anaknya, namun tidak kepada istrinya. Bang Fardlan –sebut saja begitu—nampak malu dengan istrinya. Kak Ida tergolong berbadan subur. Berat tubuhnya lebih delapan puluh kilogram, sedang tingginya sedang saja. Sementara suaminya kurus tinggi. Ada kalanya kulihat suaminya cukup kasar memerintahkan ini itu kepada Kak Ida. Lelaki itu nampak egois. Ketika dia terbangun, sarapan dan teh panas harus sudah terhidang. Ketika istirahat di siang hari, istrinya harus ada di dalam kontena dengan segala peralatan makan siang. Pada saat pulang kerja, lagi-lagi makanan menjadi prioritas utama. Lelaki itu akan marah kalau Wa Gureh membuntutinya, atau nampak kotor. Lagi-lagi Kak Ida akan menjadi sasaran makiannya.
Pernah kulihat dia memukul kepala Kak Ida di depan umum. Saat itu istrinya sedang asyik menonton teve, padahal dia baru bekerja, saatnya makan siang. Pernah juga dimarahinya sang istri karena terlambat menyediakan makan malam buat orang-orang. Namun Kak Ida begitu sabar meladeni suaminya. Kurasa, Bang Fardlan memperlakukan Kak Ida lebih menyerupai pembantu ketimbang istri. Gureh mungkin lebih beruntung.
Suatu siang, ibu pemilik kantin bertanya kepada Bang Fardlan dengan logat maduranya yang kental.
“Kamu ada istri di kampung?”
“Ada..”
“Terus kamu kawin lagi di sini?”
“Iya..”
“Apa istri kamu tahu kamu kawin di sini?”
“Tahu..dia yang suruh saya kawin.”
“Terus, kamu nggak pusing bagi gaji?”
“Pusing juga..nggak bisa nabung. Nggak bisa buat pulang kampung.”
“Sudah lama kamu di sini?”
“Lama juga. Hitung-hitung sudah lebih sepuluh tahun.”
Secara singkat Bang Fardlan bercerita tentang istrinya itu.
“Dulu istri saya ikut ke Malaysia. Saat hamil anak kedua, dia minta pulang ke kampung. Sebelum itu dia berusaha mencarikan saya istri. Pernah dia berdiri di depan kilang seharian, memandang perempuan pekerja di sana, untuk mencarikan istri yang cocok buat saya. Setelah saya marahi dia lalu pulang.”
Tentang anak, dia berkisah.
“Anak saya ada dua di kampung, perempuan semua. Yang bungsu wajahnya mirip dengan Gureh.”
Ketika istrinya pulang, Bang Fardlan berkenalan dengan Kak Ida. Cukup lama Kak Ida mengenal Bang Fardlan, lebih tiga tahun, sebelum akhirnya mereka menikah. Setelah menikah, barulah Kak Ida tahu kalau suaminya sudah punya istri di kampung. Namun Kak Ida hanya pasrah.
“Gimana lagi, sudah ada anak. Kalau saya tahu dari dulu dia sudah beristri, takkan mau saya kawin dengan dia. Mungkin sudah jodoh saya.”
Sekali kulihat foto seorang anak, berdiri di depan teve dengan tangan menutup kening. Seolah memberi hormat. Sepintas wajahnya mirip Gureh.
“Ini Gureh ya, kok besar?”
“Bukan..itu anak saya yang bungsu di kampung,” tiba-tiba suami Kak Ida muncul.
“Wajahnya serupa kan?” tambahnya.
“Iya..mirip,” aku mengangguk.
“Waktu hamil Gureh, bapaknya sering melihat foto anaknya di kampung. Waktu lahir, wajahnya benar mirip,” Kak Ida menambahkan.
Pantas lelaki itu begitu sayang kepada Wa Gureh. Walau dia juga sangat keras kepada anaknya. Tak segan-segan dia pukul anaknya, kalau berbuat salah. Gureh memang nakal. Dia sering membuntuti orang dewasa yang membeli makanan di kantin, dan baru menghentikan tingkahnya jika dibelikan roti atau krupuk. Gureh juga suka mencuri sandal orang-orang. Nampaknya dia tak suka memakai sandalnya yang kecil. Kakinya lebih akrab dengan sandal orang dewasa. Kalau bapaknya tahu, maka dipukulnya kaki sang anak. Tindakan bapaknya membuat Gureh lebih dekat kepada ibunya ketimbang bapaknya. Sering kulihat Gureh nampak gembira, berlari-lari saat seseorang berteriak, “Hei...Bapak pulang.”
Ketika dilihatnya bapaknya sedang berjalan mendekati kongsi, mulutnya terus berceloteh “Bapak puyang...puyang bapak.bapak guyeh puyang..hoye..”
Namun hanya itu kegembiraan yang ditunjukkannya. Ia takkan berlari mendekati bapaknya untuk minta digendong. Justru dia menjauh dan berlari-lari. Nampak dia menjaga jarak dengan bapaknya. Jadi tak seperti anak-anak pada umumnya. Balita itu paham, kasih sayang tak perlu ditampakkan.
Gureh sayang kepada bapak tapi tak boleh dekat dengan bapak. Anak itu bisa menentukan jarak, ruang, dan waktunya dengan sang bapak. Dia akan bermanja dengan bapaknya saat sang bapak makan. Satu dua suap ikan atau sayur dari tangan si bapak cukup membuktikan bahwa bapak sayang kepadanya. Gureh tak pernah meminta lebih. Dia tahu bapaknya sibuk bekerja, membanting tulang untuk menghidupi dua keluarga.
Dengan sang ibu, Gureh nampak dekat. Dia tahu tak perlu berbagi ibu. Ibu adalah ibunya. Sedang bapak juga menjadi bapak bagi saudara tirinya. Kak Ida sangat sabar, nyaris dia tak pernah memukul atau memarahi Gureh. Dia akan menggendong anaknya yang menangis, merajuk, sambil menggoreng ikan. Dia hanya tidur di saat anaknya tertidur. Dia akan mengambil anaknya, melindunginya dari kemarahan sang suami, lalu membawanya pergi, sambil menghiburnya.
Suatu hari Gureh kehabisan pempers, popok bayi instan sekali buang. Rupanya Gureh tak bisa lepas dari pempers. Anak itu tak biasa bilang, “Mak..aku mo pis” atau “Mak..aku mo pub.” Mungkin karena tak dibiasakan, atau memang susah mengajar anak berumur dua tahun untuk menunjukkan hasrat alaminya. Walau si anak sudah lancar ngoceh. Maka Wa Gureh pipis dimana-mana. Di sembarang tempat. Di dapur, di ruang makan, di ruang duduk-duduk, di kantin, di kamar orang, bahkan di tempat orang meletakkan sajadah. Kak Ida pun sibuk luar biasa membersihkan ompolan anaknya. Sementara Wa Gureh tak hendak dikekang pergerakannya. Suatu malam kudengar Kak Ida memohon kepada suaminya.
“Bang..beli pempers dong buat anak.”
“Tak ada duit, kamu tak lihatkah saya belum gaji.”
“Tapi anak ini kencing dimana-mana.”
“Iya..tapi saya tak ada duit.”
“Kalau begitu saya pinjam kakak itu saja. Nanti abang ganti ya duitnya.”
“Jangan hutang, bikin malu saja. Saya tak suka kamu hutang. Buat beban saya.”
Aku tak ingin mendengar perbincangan mereka lagi. Baru saja kulihat Bang Fardlan membeli nomor judi toto sepuluh ringgit dengan toke nomor di kantin, kini dia membentak istrinya dengan alasan tak mempunyai uang untuk membeli pempers. Bapak macam apa itu. Esoknya kubelikan Gureh pempers murah, tak sampai lima ringgitharganya, berisi dua belas. Si anak nampak gembira. Kemana dia pergi dibawanya pempers itu dan dipamerkannya ke orang-orang.
Aku bisa merasakan beban Kak Ida. Terbiasa bekerja di pabrik, memegang duit sendiri, tentu berat baginya kini untuk menjadi hanya sebagai ibu rumah tangga. Tak memiliki pekerjaan, hanya mengurus anak, dan sepenuhnya bergantung pada gaji suami yang tak seberapa. Apalagi dia masih harus berbagi gaji dengan istri pertama suaminya. Dan Bang Fardlan bukan jenis laki-laki yang menyerahkan seluruh gajinya kepada sang istri untuk diatur. Kak Ida tak memiliki kebebasan untuk memegang dan mengatur uang suami. Kalau menginginkan membeli sesuatu dia harus melapor kepada suaminya. Kulihat, yang berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti sabun, pempers, bedak bayi, bahkan baju Gureh adalah Bang Fardlan. Begitu juga yang membayar iuran makan di kongsi. Kalau kutanya kenapa, selalu alasannya Kak Ida takut keluar, karena dia orang kosong. Namun telah kulihat banyak perempuan kosong di Malaysia bebas berjalan, berbelanja kemana-mana tanpa rasa takut diciduk polisi.
Sesekali kulihat Kak Ida memegang duit lima atau sepuluh ringgit menuju kantin. Dia memesan teh-o ais atau rokok untuk suaminya, serta penganan seadanya buat Gureh. Ketika kembali menghantar pesanan si suami, suaminya akan menagih uang kembalian tadi. Sungguh merendahkan dan memalukan. Namun Kak Ida menelannya mentah-mentah. Sering juga suaminya mewanti-wanti agar Kak Ida tak banyak berhutang makanan di kantin. Semua hal yang berkaitan dengan keuangan dikontrol oleh suaminya. Mungkin itu yang membuat Kak Ida mulai bermain-main saat berbelanja kebutuhan dapur orang-orang di kongsi. Sambil mengambil ikan dan belanjaan di kantin, dia juga mengambil makanan yang diinginkannya. Selain itu dia selalu menyisakan lauk lebih banyak buat dirinya, anak, dan suaminya. Seolah Kak Ida takut kekurangan makanan atau kelaparan. Sementara itu sembilan orang yang menggantungkan makan pada masakan Kak Ida mulai sering tak kebagian lauk. Kini berlaku hukum, siapa yang cepat beristirahat dan makan, akan mendapatkan banyak ikan dan sayur. Sementara yang belakangan makan dijamin hanya mendapat nasi kosong atau nasi putih saja. Orang-orang mulai sering memesan mi instan di kantin karena tak kebagian makanan di dapur. Sementara Kak Ida bisa makan empat kali dengan lauk utuh..
Tak tahan terus-menerus kurang makanan, orang pun mulai pecah. Mereka sibuk membuat dapur masing-masing. Bang Mansyur, Tiar dan Anshar memasak sendiri. Demikian pula dengan Mili dan Malik. Tinggal empat orang saja yang bergantung kepada masakan Kak Ida. Kurasa perempuan Aceh itu semakin gemuk saja. Kekecewaannya pada perilaku sang suami dilampiaskannya dengan makan, makan, dan makan. Pernah kutanya dia.
“Apa Kakak nggak ingin balik kampung? Susah jadi orang kosong di sini.”
“Memang saya ingin balik kampung bawa anak ini.”
“Kapan ?”
“Tak tahulah. Abang belum ada uang.”
“Abang kakak mana ada uang sisa. Tahulah..”
“Iya...mungkin kalau ada pengampunan saya pulang.”
“Kemana? Aceh atau kampung Abang?”
“Acehlah. Mamak saya sudah rindu sama cucunya. Mereka belum pernah ketemu Gureh.”
“Lalu Abang bagaimana?”
“Tak tahulah..mungkin saya kemari lagi tapi sendiri.”
“Anak?”
“Biar Mamak saya yang asuh.”
“Rencana Kakak?”
“Saya mau nyusul Abang kemari sambil bekerja. Saya mau membantu orang tua di kampung.”
“Kenapa dulu mau punya anak kalau Kakak masih ingin bekerja?”
“Dulu sudah saya coba gugurkan anak ini, minum obat, makan kuah durian, tapi nggak berhasil. Mungkin anaknya mau hidup.”
“Kakak tak mau pulang ke kampung Abang?”
“Mau juga, tapi kan disana ada istrinya.”
“Jadi..”
“Nggak tahulah. Pening saya pikir nasib saya.”
Kulihat pandangan Kak Ida kosong. Tangannya tak henti mengelus-elus kepala Wa Gureh yang tertidur di pangkuannya. Mungkin dia sedang berandai-andai. Andai dia masih sendiri, andai Wa Gureh tidak dilahirkan, andai...
Komentar
Posting Komentar