Bunuh Diri
Oleh Anggie D. Widowati
HARI PERTAMA
Sebentar lagi senja. Kubenahi meja kerja berukuran kecil itu. Subuah laptop model lama yang masih terbuka aku tutup perlahan. Lalu aku masukkan ke tas laptop. Beberapa lembaran biodata klien aku rapikan ke dalam kotak. Sebuah file dengan nama Yossa membuatku sedikit tertegun. Lalu aku selipkan diantara file-file yang lain.
Gadis dengan wajah murung itu, adalah klien terbaruku, saat masuk ruangan ini, dia selalu saja bilang: "Aku mau bunuh diri."
Ketika pertama kali mendengar kalimat itu, aku keder bukan kepalang, Tetapi setelah kedua, ketiga, aku mulai sadar bahwa dia hanya terobsesi untuk bunuh diri. Yah hanya terobsesi.
Sudah setahun ini aku lulus sebagai pegawai negeri dan di tempatkan di rumah sakit jiwa ini. Jangan ditertawakan, rumah sakit tempat aku bekerja ini, memang bukan seperti rumah sakit pada umumnya. Namun ada hal-hal yang sama, lantainya berbau karbol, pengunjung seliweran sepanjang hari dan para perawat dengan muka tegang memeluk map di dadanya.
Rumah sakit ini punya ambulan, tetapi ambulan itu nyaris tak pernah digunakan. Ketika melewati bangsal-bangsal, sering terdengar celotehan-celotehan tanpa arti, ketawa yang begitu terlepas, bahkan tangisan kepedihan. Aku seorang psikolog, aku bukan dokter ahli jiwa, jadi tidak menangani pasien-pasien yang berat, tetapi hanya mereka yang mendapat serangan neorosa.
Ketika masuk fakultas Psikologi, tekadku hanya satu, aku ingin menjadi seorang psikolog klinis yang mengabdikan diri pada manusia-manusia yang hilang orientasi hidupnya. Aku tidak tahu kenapa memilih profesi itu. Bahkan beberapa orang akan menertawaiku, ketika tahu dimana aku bekerja.
"Rumah sakit jiwa?"
"Iya, kenapa emang?" jawabku tenang.
"Bukankah mereka orang yang aneh?"
"Ya, mereka hilang kontak dengan lingkungan sosialnya, mereka memiliki kehidupan yang kurang bisa diterima oleh masyarakat umum, ditakuti dan dianggap manusia tak berguna."
Aku selalu menjelaskan begitu. Namun bila penanya tidak puas, aku akan menjelaskan lebih dalam lagi. Memang seperti itulah, orang-orang yang sudah hilang ingatan, hanya akan menjadi beban orang lain. Dan di Indonesia orang gila sudah ditangani secara profesional sejak jaman Hindia Belanda.
Dan sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa menangani dan menyembuhkan orang sakit jiwa adalah seperti menggantang asap. Tidak mungkin. Imposible. Padahal bisa. Ada yang bisa sembuh dan kembali hidup normal di masyarakat.
Aku teringat lagi pada Yossa. Perempuan itu jarang tersenyum, wajahnya serius dengan lekuk pipi tirus. Dahinya lebar, kata orang Jawa nonong, namun tidak merusak keseluruhan wajahnya yang bisa disebut cantik.
Hari pertama, Yossa datang bersama ibunya. Seorang wanita yang berwajah lemah. Tidak tersenyum dan tidak bersemangat. Perempuan itu juga tidak terlalu ramah, sedikit bicara, dan yang kutahu, ketika di ruanganku, pikirannya tidak di situ. Kali itu saja dia mengantarkan remaja tua itu, setelahnya Yossa datang diantar sopir, dan masuk ruanganku sendirian.
Yossa belum juga menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum meskipun sudah 8 tahun kuliah di sana. Padahal menurutku dia bukan orang yang bodoh, otaknya encer. Dia bisa menangkap pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya umum dengan tangkas.
Kata ibunya, Yossa adalah langganan juara waktu masih sekolah. Seperti tebakanku, begitulah dia, anak pintar yang sedikit punya masalah kepribadian. Kata ibunya sejak SD, SMP maupun SMA peringkat satu. Selalu menjadi rangking atas. Hanya setelah masa akhir kuliah saja, setelah mengenal cinta, prestasinya turun drastis.
"Aku ingin bunuh diri," katanya waktu itu.
"Bunuh diri?" jujur aku merasa kaget dengan pernyataan itu.
"Iyaa, aku akan meminum racun," katanya dengan nada dingin.
Dengan sedikit susah payah, aku berhasil mengorek alasan kenapa Yossa ingin nekad. Cinta pertama yang nyaris menghancurkan hidupnya, begitu dia berkata.
“Seorang lelaki bernama Jefry meninggalkanku dan memacari gadis lain.”
"Miranda dari fakultas lain, dan menurutku aku lebih segalanya dari dia," lanjutnya.
"Benerkah?"
"Tapi semua kelebihanku percuma, karena aku kalah dalam mempertahankan kekasihku."
"Dan sekarang otakku sudah tak bisa berfikir sama sekali."
Dari situlah aku menilai bahwa menjadi superior bisa merusak hal yang berkaitan dengan hati. Prestasi yang diraih oleh otak, tidak sejalan dengan pencapaian hati. Kegagalan Yossa dalam bercinta ternyata berefek cukup besar. Dia patah sepatah-patahnya dan kemudian mengalami depresi. Akankah kecerdasannya membantu persoalan hati ini
*
Aku sendiri mengejar ketinggalanku setelah patah hati. Aku terluka, aku sakit hati, tetapi ada hal lain yang menjanjikan kebahagiaan bagiku. Kembali aku menyusun langkahku. Sesekali aku terjatuh dan teringat bagaimana penghianatan itu terjadi, aku drop, tetapi aku hanya memiliki waktu sedikit. Aku berlari dengan kaki yang terluka.
Sampai akhirnya aku bisa lulus dengan memuaskan. Bahkan aku mendapatkan peringkat nomor satu. Itu yang kemudian aku namakan dorongan ekstra. Saat situasi lagi buruk, justru seseorang memiliki tenaga ekstra. Geraknya menjadi lebih cepat, pikiran menjadi lebih encer dan dia lebih agresif memburu keinginannya.
Karena dari sekolah favorit, dengan prestasi bagus, aku diterima tanpa tes di sebuah universitas negeri bonafid. Kebahagiaan dobel. Kehilangan cinta tetapi mendapatkan kesempatan yang menjadi impian banyak siswa SMA. Bagiku, dengan cara berfikir rasionalku, aku sudah impas.
Perjalanan panjang tanpa cinta kumulai. Jujur saja, cinta pertama begitu berkesan. Sangat sulit untuk melupakan Fath. Cinta pertama yang diakhiri dengan penghianatan. Sesuatu yang sangat tidak adil. Biasanya cinta pertama berakhir dengan lembut. Penuh dengan kenangan-kengan yang mengasyikkan.
Bagaimana tidak, hati penuh dilema dan cemburu. Halangan-halangan cinta begitu banyak, tidak berani mengungkapkan perasaan, salah paham, mis komunikasi. Tetapi cinta pertamaku, berakhir dengan teramat menyakitkan.
"Fath, aku tahu kamu sudah memacari Krisnina, ketika kita belum putus, itu namanya penghianatan," ujarku waktu itu.
Fath diam saja.
"Kamu tahu nggak sih artinya semua itu?"
"Enggak..."
"Artinya kamu akan berakhir sebagai penghianat," ujarku kesal.
"Maafkan aku..."
"Maafkan? Rasanya semua itu tak termaafkan."
Fath diam.
"Jangan pernah temui aku lagi."
Kemudian aku bertemu dengan orang-orang di Fakultas Psikologi. Dan aku mulai merasakan begitu beragamnya manusia di dunia ini. Dan manusia berusaha menunjukkan eksistensinya untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain. Bahkan manusia melakukan apa saja untuk mendapatkan pengakuan itu.
Sebelumnya aku tidak tahu apakah itu Psikologi. Ku pikir seorang psikolog adalah orang yang membantu orang lain menyelesaikan masalahnya. Itu saja. Dan aku adalah orang yang seperti itu. Kalau aku boleh sombong, aku adalah tempat curhat banyak orang. Mulai dari masalah cinta, masalah pelajaran maupun masalah yang lainnya.
Dan aku orang baik. Aku melakukan apapun untuk menolong orang lain. Bahkan aku bisa menghadapi siapapun, bisa bergaul dengan orang macam apapun. Kelebihanku itulah yang kemudian menyeretku untuk menjadi Psikolog.
Begitu di kampus pun, kehidupan lamaku tak pernah meninggalkanku. Tetap saja menjadi Psikolog gratisan. Dan untunglah Tuhan memberiku kelebihan "lupa". Aku seringkali lupa apa yang telah diceritakan orang kepadaku. Jadi semua rahasia orang-orang itu seperti terbenam di sumur jiwaku yang jauh, hal itu membuat orang tetap aman semua rahasianya di tanganku.
Jangankan kamu Yossa, aku pun nyaris bunuh diri, saat patah hati dengan Fath.
Setelah tahu hubungan Fath dan Krisnina, aku tak bisa melupakan wajah perempuan itu. Pagi saat bangun tidur sampai ketika akan berangkat tidur yang terbayang di kelopak mataku adalah Krisnina.
Dia memang manis. Tutur katanya santun dan selalu tersenyum. Kupikir dia tidak pintar tetapi baik. Konon lelaki lebih menyukai perempuan baik daripada perempuan pintar. Tubuhnya tidak bisa dikatakan langsing, dan kulitnya yang kuning langsat adalah satu-satunya kelebihan fisik yang dimilikinya.
Wajah biasa pun akan menarik kalau kulitnya putih. Sekilas memang terlihat biasa saja, tetapi kalau sudah tersenyum, ada manis-manisnya. Aku berharap teman-temanku bilang Krisnina itu jelek, gembrot dan tidak pintar. Namun rata-rata mereka berpendapat kalau Krisnina itu manis. Kecemburuanku mulai jahat.
Fath mencintainya. Aku tahu dia sangat mencintai gadis itu. Berbulan-bulan aku mencari tahu apa kesalahanku hingga kekasihku meninggalkan aku. Aku adalah perempuan sempurna yang sangat cocok dengannya.
Kelebihan-kelebihan itu tidak berguna. Itu kataku. Lalu aku naik ke loteng dan ingin terjun bebas di sana.Tapi semua itu hanya rencana. Aku tak memiliki keberanian untuk mewujudkan keinginan itu. Kalau aku bunuh diri, bagaimana perasaan ibu dan ayah nanti. Aku akan dicap sebagai orang yang melakukan bunuh diri. Tak ada yang aku tinggalkan buat keluargaku selain cap buruk itu.
Belum lagi kalau tubuhku nanti hancur, ita kalau langsung mati. Kalau aku masih hidup dan cacat, Fath akan makin melihatku sebagai pecundang.
“Ternyata bunuh diri butuh keberanian.”
Dan diterima di sebuah fakultas favorit, adalah hadiah yang besar dan memuaskan. Aku akan makin berjaya dibalik kejayaan Fath dan Krisnina dalam cinta. Buat apa bunuh diri, sakit hati akan sembuh seiring dengan waktu. Yakini saja itu.
"Setelah kau sibuk kuliah, dan mengenal orang-orang baru, kau akan melupakan semua yang menyakitimu," begitu pesan ibu.
HARI KEDUA
Siang itu, Yossa kembali datang. Kali ini aku sudah siap untuk menghadapinya.
“Kau apa kabar?” tanyaku.
“Kabar baik, Bu.”
“Sepertinya hari ini cukup cerah untuk kita mengobrol.”
“Dan hari yang baik buat bunuh diri,” katanya ringan.
Melihat wajahnya tadi, aku tidak yakin dia sudah baik-baik saja. Kelihatannya masih ada yang mengganjal di pikirannya. Dan benar dia masih berfikir tentang bunuh diri.
“Kau tidak benar-benar ingin melakukannya,” ujarku.
“Siapa bilang, tadi pagi aku sudah menuangkan air di gelas yang aku isi dengan cairan pembunuh. Saat aku akan menegaknya, kucingku menabrak kakiku dan gelas itu lepas dari tanganku, jatuh di lantai dan hancur berantakan.”
“Pagi yang sial.”
"Hmm..."
“Entah mengapa usahaku selalu gagal.”
Aku tersenyum dan terus memandangi klienku ini. Gadis muda cantik yang putus harapan, ingin bunuh diri tapi tak punya keberanian.
“Kenapa kau tak tuang lagi ke gelas kedua?”
“Ibu juga meragukan niatku?”
Bukannya ragu, entah ini rencananya yang ke berapa untuk bunuh diri, dan tidak sekalipun terlaksana.
“Apa sih yang masih membuatmu ragu, kamu harus tegas melaksanakan rencanamu,” kataku.
“Tinggal menunggu waktu yang tepat.”
“Coba jawab dulu pertanyaanku tadi, apa yang membuatmu ragu, siapa tahu aku bisa membantumu.”
“Setiap orang melarangku bunuh diri, tapi ibu malah ingin membantuku.”
“Kau hanya butuh dukungan agar berani bunuh diri.”
“Ya benar kukira itu benar.”
“Coba katakan apa saja yang menghalangimu?”
“Sebenarnya, kalau aku bunuh diri, aku tak tahu kelanjutan hubungan Jefri dan Miranda. Aku selalu yakin mereka akan bubar. Aku bersumpah dan taruhan dengan diriku sendiri.”
“Baik itu yang pertama.”
Ada genangan di matanya. Patah hati memang berat. Dan gadis itu mengusap air mata itu dengan punggung tangannya.
“Masih mau cerita?”
“Ku harap dengan bunuh diri, orang tuaku tahu bagaimana aku menjalani kesedihan ini sendiri, aku ingin memberi pelajaran buat mereka.”
“Pelajaran pada orang tua?”
“Iyaa, lelah rasanya memiliki orang tua tetapi seperti tidak, jangankan masalahku dengan Jefri, dimana keberadaanku saja mungkin mereka tak tahu.”
“Bukankah ibumu meluangkan waktunya untuk mengantarkanmu kemari.”
“Itu karena sudah tak tahu bagaimana mengetahui keinginanku.”
“Mengetahui keinginanmu?”
“Dia lebih baik membayar orang untuk mencegahku bunuh diri daripada bicara denganku.”
“Mereka tahu kau berniat bunuh diri?”
“Tahu, tapi tak mau tahu apa sebabnya, mereka ingin psikolog yang mencoba mencegahku.”
“Baik sampai di sini aku paham.”
“Jadi bagaimana sudah saatnyakah aku bunuh diri?”
"Silakan saja, tapi kalau Jefri tahu, kira-kira apa pendapatnya?”
“Dia bukan orang yang peduli, dia akan tertawa, aku yakin dia akan menertawakanku. Menganggapku cemen, dan makin yakin dengan putusannya memilih Miranda.”
“Apa dia tahu rencanamu?”
“Tidak, tak mungkin aku menceritakan ini padanya, nanti besar kepala.”
“Maksudnya?”
“Dia akan menganggapku wanita yang lemah.”
“Jadi gimana dong, mending bunuh diri atau tidak.”
“Entahlah, saya jadi bingung, Bu.”
HARI KETIGA
Esoknya aku menunggu kehadirannya, spekulasi saja. Aku sudah di kantor, seperti biasa. Dulunya klien ini selalu membuat aku takut dan ngeri masih terkesiap aku saat dia datang siang itu. Kali ini dia membawa botol potas.
Dia ingin bunuh diri di kantorku.
“Bukankah selama ini Ibu mendukung keinginanku bunuh diri?”
“Apakah hari ini kau benar-benar sudah siap?”
“Siap.”
“Ingat jangan sampai bunuh dirimu tak membalaskan dendammu.”
“Maksud Ibu?”
“Apakah Jefri akan meninggalkan Miranda setelah tahu kamu bunuh diri?”
“Apakah kau pikir aku akan memberitahu Jefri bila kau bunuh diri di kantorku?”
“Kantorku akan tidak laku, dan belum tentu aku akan kasih tahu Jefri.”
Gadis itu diam sejenak. Berfikir dan mencari-cari apakah aku mengatakannya dengan kejujuran, atau semacam mengancam.
“Aku juga pernah mau gantung diri,” tambahku.
Kali ini wajahnya yang putih terlihat memerah. Mungkin sedikit kaget dengan pernyataanku itu.
“Iyaa, aku pernah akan bunuh diri.”
“Kenapa tidak jadi?”
“Ceritanya panjang.”
“Maukah kau menceritakannya padaku, Bu?”
“Jangan, nanti kau tambah ragu.”
“Atau sebaliknya malah aku jadi berani.”
“Aku tak yakin.”
“Plis, aku akan singkirkan botol-botol ini untuk sementara waktu.”
Gadis itu memohon dan mengambil kantong hitam berisi botol potas itu.
“Baiklah kalau kau memaksa.”
“Aku selalu juara dan pintar. Tapi tak pintar mendapatkan pacar. Fath adalah cinta pertamaku. Tapi kemudian dia bertemu Krisnina, dan dia lebih mencintai Krisnina daripada aku. Padahal aku lebih segalanya dibandingkan dengan gadis itu. Baik secara fisik maupun kepintaran.”
Gadis itu melipat tangannya di meja dan menyimak. Memang kisahku mirip dengan kisahnya, gadis pintar yang kesepian, dan diputus kekasihnya karena gadis lain yang tidak sepadan.
“Awalnya aku selalu menghina Krisnina yang gendut dan tidak pintar itu. Ya dia memang mirip karung beras yang teronggok di lantai. Kuliahnya pun di fakultas yang tidak bonafid.”
“Aku kadang mengata-ngatainya dan Fath selalu membelanya. Setelah itu Fath seakan menganggapku sebagai monster dan mulai membenciku.”
“Intinya kekasihku berpindah tangan pada gadis yang standarnya di bawahku.”
“Hmmm…”
“Dan itu dari sudut pandangku.”
“Kenapa?”
“Cemburu membuatku tidak obyektif dan perasaan cinta membuatku buta segalanya.”
“Maksudnya?”
“Di kemudian hari cinta tak perlu memikirkan kelebihan dan kekurangan, tetapi soal cocok dan tidak cocok.”
“Apakah Fath yang bilang begitu?”
“Tidak, dia pecundang, yang selalu menghindariku.”
“Lalu?”
“Aku tegaskan bahwa ternyata Fath orang yang egois dan seenaknya sendiri dalam mengambil keputusan. Bahkan sama sekali tidak menghargai perasaanku.”
“Yups.”
“Dia tak layak untuk membuatku kecewa. Apalagi sampai bunuh diri, buat apa, dia tak seberharga itu.”
Mata gadis itu bersinar-sinar. Kantong hitam yang berisi potas yang berada di kursi sebeleh tempatnya duduk itu diambilnya. Lalu dia berdiri dan melihat sekeliling, matanya berakhir pada keranjang sampah di dekat pintu. Gadis itu berjalan dan menyemplungkan kantong itu ke dalamnya.
“Sepertinya Jef juga tak seberharga itu,” katanya.
PERTEMUAN TERAKHIR
Beberapa bulan kemudian, Yossa datang lagi ke biro. Dia membawa seekor kucing berbulu putih dengan mata biru muda. Dia menaruh kucing angora ini di atas mejaku.
“Hai Yossa, enam bulan kau tak datang.”
“Maaf bu, baru sempat, saya mau kenalkan Snow pada ibu.”
“Kucing yang cantik, apakah ini jenis angora?”
“Campuran antara angora dan kucing kampung.”
“Owh.”
Dia sudah tidak lagi bicara soal bunuh diri. Aku menyentuh bulu kucing yang lembut itu dan merasakan bagaimana Yossa senang melihatku mengelus-elus kucingnya.
“Kau beli dimana, kucing blasteran ini.”
“Tidak beli.”
“Oh.”
“Nemu di jalan.”
“Terlantar?”
“Hampir mati karena kelindas mobil.”
“Ya ampun.”
“Sepulang dari sini, aku berjalan sepanjang jalan kota dan sampai di jembatan di atas jalan tol. Potas itu sudah aku masukkan ke keranjang sampah di kantor ini. Tapi tiba-tiba pengen bunuh diri lagi.”
“Karena jembatan itulah aku pengen bunuh diri dan semua berakhir. Aku ingin meloncat dari sana. Aku akan remuk, dan kemudian aku akan digilas oleh kendaraan yang berkecepatan tinggi sampai hancur. Aku tak peduli lagi Jefri akan menikah dengan Miranda atau tidak, tak peduli hubungan mereka akan berhasil atau tidak. Tak peduli apa kata Jefri akan menghinaku. Yang kurasakan hanyalah sakit hati dan yakin sakit hatiku tak akan sembuh. Pokoknya aku harus mati”
"Di saat aku akan naik ke jembatan, ada suara kucing lirih. Aku cari-cari di pinggiran jalan. Seekor kucing warna putih tergeletak di rerumputan, ada darah di sekitarnya. Sepertinya kucing itu kucing rumahan yang sengaja di buang di jembatan dan kemudian tertabrak mobil dan kaki kanan depannya ada sisa darah yang sudah mengering."
"Penabrak menaruhnya begitu saja di pinggir jalan. Aku mengambil kucing itu aku pangku, tubuhnya lemas, menahan sakit. Aku pun bergegas ke klinik hewan terdekat. Kaki kanannya ternyata remuk dan ada trauma di kepala, mungkin karena terlempar ke jalan. Dokter membungkus kakinya dengan perban dan aku pun membawanya pulang. Setelah ada Snow di rumah aku punya merasa harus merawatnya sampai sembuh."
"Menyelamatkannya, membuatku berharga, dan sekarang dia sudah pulih dan bisa berjalan kembali, meskipun agak pincang."
“Kisah yang heroik, untung kau lewat jalan itu.”
“Iyaa, jalanan disitu memang ramai dan tak ada orang yang peduli, cocok untuk bunuh diri.”
Yossa mengelus lagi kucing itu dengan lembut. Kucing itu pun mengeong pelan. Aku bisa merasakan bagaimana Yossa kembali pulih dari depresinya. Kucing itu telah membuatnya kembali berharga dan telah menyelamatkannya dari bunuh diri.
"Senenarnya kau telah melewati banyak pertanda."
"Pertanda?"
"Kucingmu yang menumpahkan cairan racun di gelasmu itu juga pertanda."
"Oh."
"Pertanda bahwa Tuhan masih menjagamu."
Wajah tirusnya memerah, lalu mengangguk pelan.
(Tamat)
Jakarta, 15 Mei 2019
Komentar
Posting Komentar