Cikal Bakal Radikalisme di Indonesia

Oleh: Ali Ahmadi

Oke deh saya tulliskan ulang status saya sebelumnya dalam bentuk TEKS biar tidak terlalu heboh dan lebih runut logikanya.

Ada "ulama", ustadz, kiai yang gemar menganjurkan pembunuhan atas nama agama. Modus tuduhannya macam-macam. sesat, sekuler, menodai Islam, menghina Quran, dsb.

Jangan anggap ini cuma isu. Benar-benar ada. Kalau Anda menyimak berita lalu lalang di sana-sini, ceramah, pengajian, tabligh akbar, dsb.

Kata-kata "halal darahnya" saya pikir bukan sesuatu yang asing untuk diterapkan bagi "musuh-musuh Islam".

Dan ini sudah berlangsung lamaaaaaaaa banget. Sejak tahun 80an, saya dengar  nama Jalaluddin Rakhmat, Nurkholis Madjid,  pernah dihalalkan darahnya. Tentunya tidak heran dengan golongan-golongan "sesat" yang lainnya semacam Ahmadiyah, Syiah, dsb. (#catatan: Kang Jalal waktu itu setau saya belum Syiah, baru "simpatisan Syiah".)

Keluarnya Uni Sovyet dari Afghanistan ternyata membuahkan "anak haram" berupa penyuburan gerakan Islam Radikal. Disambung  dengan meningkatnya tensi politik di Indonesia tahun 98 memperparah keadaan. 

Aliran-aliran radikal semakin menjamur. Pemerintah kita baik hati sekali, kelompok-kelompok anti demokrasi diberi tempat berkembangbiak yang nyaman di iklim demokrasi. Coba, siapa berani bikin cabang Hizbut Tahrir atau Ikhwanul Muslimin di Arab Saudi? (Tapi IM mah masih mending lah, gak anti-anti banget demokrasi, meski kalau sudah menang agak gimana gituh  :-D )

Perkataan "halal darahnya" ini sangat lazim dikeluarkan di kajian-kajian internal kelompok radikal, bahkan tak jarang di masjid-masjid umum pada saat khotbah Jumat atau pengajian yang lain.

Dan jangan dikira "halal darahnya" ini sekadar lelucon, bahwa darahnya enak dicampur jus tomat atau jus mangga. Itu adalah kata halus untuk "boleh dibunuh".

Anda bisa bayangkan jika pemahaman seperti ini merasuk ke anak-anak muda yang ghirrah keagamaannya sedang berada di puncak. Maka tak aneh banyak muncul teroris berusia muda, dibawah 25 tahun, penuh militansi tak ragu untuk menjadi "pengantin" bom bunuh diri.

Anda pikir ini soal Demo 4 November kemarin? Bukaaaan, sama sekali bukan.

Bahwa tokoh yang fotonya kemarin ada di gambar itu ternyata terlibat demo 411, jangan anggap saya tendensius. Kalau saya tendensius, saya ganti gambarnya dengan gambar Aa Gym atau yang lain tentu lebih maknyus. Tapi kan Aa Gym bukan jenis tokoh seperti ketiga orang itu.

Jadi para teroris dan bomber itu adalah korban indoktrinasi  dari ideologi kekerasan yang ditanamkan ulama-ulama yang demikian itu. Ulama-ulama yang sejak sekian tahun yang lalu Anda elu-elukan sebagai pembela Islam, representasi Islam, sehingga menentang mereka berarti menentang Islam. Bukan cuma mereka bertiga. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan ulama model demikian, dari yang level ceramahnya cuma di masjid RT/RW sampai nasional.

Dan ketika para korban indoktrinasi ini beraksi, maka dengan "wajah manis sendu merayu" Anda bilang turut berduka cita, mengatakan para teroris itu BUKAN BAGIAN DARI AGAMA ANDA, padahal ulamanya Anda puja-puja. Belum lagi setelah tewas Anda gelari sebagai syuhada, mayatnya pun berbau harum bunga.

Dan ketika aparat menindaknya, Anda bilang Islam ditindas, agama dizalimi, mujahidin dibasmi. 

Jadi maunya apa? Biarkan mereka beraksi, menunggu Anda , keluarga Anda, sahabat Anda jadi korbannya?

Mas, Mbak, Jeng, Kang, Bro, Sis,....
Masih banyaaaak ulama berhati lembut, berjiwa anti kekerasan, menyebarkan rahmat bagi alam, dan gemar menjaga ketenteraman hati umat daripada ulama-ulama penyebar ideologi kekerasan begitu.
Kepada yang begini lah semestinya kita menjunjung tinggi dan mengikuti ajarannya.

#Kalau masih gak ngerti juga, ya sudahlah.
وَاللهُ الْمُوَفِّقْ إِلىَ أَقْوَامِ الطَّرِيق

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat