Gadis Berambut Punk (1)

Oleh: Hanifatul Hijriyati 

Gadis itu berlari kecil dengan seragam putih abu-abunya yang terlihat masih bersih. Rambutnya yang sebahu diikat ke atas. Aku berpapasan dengannya sebentar, lalu ia berlalu. Setelah tiga hari melalui masa MOS, siswa kelas X mulai memasuki proses pembelajaran. 

Kulangkahkan kakiku menuju kelas XD. Ruang kelas telah penuh berisi siswa baru yang belum lama lulus dari SMP. Wajah-wajah remaja awal memenuhi ruang kelas. Berbagai seragam masa SMP masih mereka pakai. Kulihat gadis yang kutemui di depan sekolah itu duduk di kursi paling depan meja guru. 

Ia sudah memakai seragam putih abu-abu. Aku memperkenalkan diri sebagai wali kelas mereka selama satu tahun. Gadis itu kulihat tersenyum lebar. Entah kenapa sejak melihatnya pertama kali aku melihat binar mata yang cemerlang darinya. Kuminta satu persatu mereka memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris. 

Ia mengacungkan tangan pertama kali, tanda ia ingin memperkenalkan diri lebih dulu. Penuh percaya diri dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat baik membuatku berpikir bahwa ia adalah gadis yang cemerlang. 

Pengucapan yang benar disertai intonasi yang baik, bahasa Inggrisnya terdengar sangat tidak memiliki style Jawa. Tanpa kuminta ia menjelaskan bahwa ia sempat bersekolah di Jakarta sebelum akhirnya pada kelas 9 ia pindah ke sini. 

Tak mengherankan kenapa pengucapan bahasa Inggrisnya tidak memiliki aksen Jawa. Ia menjelaskan dengan penuh semangat dan lagi-lagi binar mata yang indah yang membuatku berpikir ia bukan siswa biasa saja. Gadis itu bernama Elisa.

Pada pertemuan berikutnya, aku melihat ia selalu membawa handuk kecil berwarna putih, handuk yang biasa dibawa oleh para pekerja fisik seperti tukang becak atau tukang bangunan. 

Aku tahu kesimpulan yang dibuat ini begitu tendensius tapi begitulah kegunaan handuk putih yang kuketahui. Ia akan memasukkannya ke dalam tas atau saku roknya. 

"Kenapa kamu bawa-bawa handuk itu terus?," tanyaku.

" Ini ada sejarahnya Bu. Saya dapat ini dari Bambang Pamungkas lho Bu, pas maen di Senayan," jelasnya penuh semangat.

"Oya?"

"Iya Bu. Pas dulu saya pernah jadi anak jalanan di Jakarta. Saya juga suka berdagang rokok sampai jajanan pas ada pertandingan", jelasnya datar.

Aku sedikit terkejut. Gadis itu begitu bersemangat. Binar matanya menjelaskan ia bukan gadis biasa. Aku merasakannya. Ada getar dan ada kekuatan dalam tiap katanya. Suara pemberontakan. Yah ...ia bukan gadis mungil kelas X yang biasa-biasa saja.

Bersambung.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat