Gadis Berambut Punk (10)

Oleh: Hanifatul Hijriyati

 Selesai libur Ujian Nasional bagi kelas XII, kelas X dan XI kembali masuk. Akan tetapi tidak bagi Elisa. Belum lama ia mengirimku SMS untuk meminjam sejumlah uang dengan nominal yang cukup besar. Alasannya untuk membayar kost. 

Aku mencurigai alasannya dan kuminta untuk menemuiku di sekolah. Namun lagi-lagi ia tidak masuk. Tanpa kuduga ia juga mengirim SMS perihal yang sama kepada pak Hari, guru Geografi. 

Namun ia justru menawarkan pekerjaan sampingan bagi Elisa, yaitu membantu peekrjaan rumah tangga untuik istrinya. Elisa menyanggupinya. Ia hanya datang sore hari  dan selama dua kali seminggu untuk membantu menyetrika dan bersih-bersih di rumah pak Hari. 

Alasannya  berbeda dengan yang kuperoleh. Elisa butuh uang untuk mengirimkan sepeda Mio yang dibelikan oleh ayah tirinya. Jelas alasan ini begitu dibuat-buat. Pak Hari memberinya sejumlah uang setiap ia datang ke rumahnya. Bukan hanya satu dua guru tapi sepertinya lebih.

 Elisa juga memohon-mohon dengan penuh iba kepada pak Wawan, guru bahasa Indonesia untuk meminjamkan sejumlah uang. Alasan yang ia kemukakan adalah karena ia terlilit hutang oleh ibu kostnya. Aku meminta pak Wawan agar tak memberikan uangnya. Semuanya harus diselidiki lebih dulu. Dan kesemua guru yang ia minta pertolongan adalah guru laki-laki.

 Seorang informanku, siswa kelas XI menuturkan jika Elisa benar-benar tinggal di sebuah kost dekat pasar. Hal itu karena ia diusir oleh simbahnya sendiri. Dan di kost tersebut  ia terlibat permasalahan keuangan. Aku meminta nomor telepon ibu kostnya dan aku menemukan fakta terbaru tentang Elisa. 

Gadis itu sering berhutang kepada warung dekat kostnya. Ibu kostnya sesungguhnya tidak meminta bayaran untuk ia tinggal karena merasa iba dengan kondisinya. Ia sednang bermain peran sebagai orang yang sangat perlu dikasihani. 

Ibu kostnya juga mengatakan jika Elisa datang dengan penuh air mata. Ia merasa kasihan dan menilai simbahnya begitu kejam membuang cucunya sendiri. Apalagi Elisa berstatus sebagai pelajar.

 Upaya permainannya tidak sampai di situ. Ia bahkan sanggup membuat ibu kost membelikannya penanak nasi elektrik. Selain itu juga beras agar ia bisa sarapan tiap pagi sebelum berangkat sekolah. Kepada teman-temannya pun ia tidak sungkan meminjam sejumlah uang yang nominalnya tidak sedikit bagi kantong anak sekolah.

 Aku segera menelpon simbah dari Ibunya.

 “Ngapunten njih Bu, kulo niki sakniki sampun wegah kaleh putu kulo niku. Pun terserah sekolah pripun ditokke mboten nopo-nopo Bu. Ati kulo keloro-loro karo bocah niku. Kulo diapusi entek-entekkan Bu. Matur kaleh kulo butuh duit ngge tumbas laptop, pun kulo kei artone tapi nggeh ilang Bu. Trus yang-yangan kaleh cah lanang akeh. Muleh bengi-bengi kaleh lanangan katah bu. Kulo nyerah Bu. Memang kulo usir bocah niku. Diatur mboten purun. Padahal nek gelem diatur, njaluk nopo mawon kulo kei Bu. Saran kulo bocah niku ditokke mawon Bu. Kulo mpun boten peduli kaleh putu kulo niku”

 Deg. Aku menutup telepon dan segera menuju ruang BK untuk menemui Bu Hastuti. Kami sepakat untuk menyerahkan keputusan pada pihak kepala sekolah. Namun sebelum keputusan final tersebut prosedur lainnya masih harus kami lakukan. Yaitu home visit atau kunjungan rumah. 

Kami memutuskan untuk ke rumah simbah dari bapaknya yang jaraknya sekitar tujuh kilometer dari sekolah. Hal ini karena kami gagal menghubungi ibu Elisa setelah ia berkali-kali memberi nomor telepon yang tidak bisa dihubungi. 

 Mencari rumah simbahnya tidak terlalu sulit. Setelah mengitari lapangan kelurahan, kami memasuki jalan cor yang sudah halus. Rumah itu seperti rumah kebanyakan di Jawa Tengah.  Bangunannya terbuat dari jati yang kokoh meskipun bisa dikatakan tidak terlalu luas. Pola rumah joglo dengan tiang-tiang yang menyangga pada ruang depan yang besar. 

Rumah itu masih beralas semen kasar. Di sampingnya masih kulihat sumur tradisional dengan tali karet yang diulur di atasnya. Seroang laki-laki tua yang kupikir usianya sekitar tujuh puluhan tampak sedang memeras pakaian basah di dalam ember, sambil terus menarik tali karet dan mengulur ke dalam sumur untuk mengambil air.

 Di samping persis tempat pencucian baju dilengkapi sumur itu, berdiri sebuah surau dengan fasilitas memadai. Surau kecil berkeramik putih dan bersih. Luasnya sekitar lima meter. Terasnya bertingkat juga beralas keramik putih. Surau iti bercat putih lengkap dengan papan pengumuman dan jadwal TPA yang terpampang besar di depan dinding teras. 

Meskipun ukurannya jauh lebih kecil untuk disebut masjid, dengan perlengkapan yang kulihat serta jadwal pengajian hingga TPA maka bisa kukatan surau itu begitu hidup.

 Aku dan bu Hastuti memberikan salam. Kemudian laki-laki tua  itu menghampiri kami dan mempersilakan duduk di kursi halaman luar.  Aku dan bu Hastuti memperkenalkan diri dan tanpa diminta ia bercerita panjang lebar mengenai cucunya. Lelaki tua itu dulunya adalah seroang guru SD, dan selama ini, ia hidup bergantung pada gaji pensiunannya sebagai guru. 

Kondisi hidup layak sebagai PNS dan pensiunan PNS tidak tampak dari kehidupan luar lelaki tua itu. Penyebabnya adalah kegagalan hidup layak yang dijalani kedua anak laki-lakinya. 

Bantuan finansial yang terus menerus ia berikan kepada anak-anaknya membuatnya memilih hidup dengan  kondisi yang sangat sederhana.  Kebutuhan sehari-hari untuk hidupnya tidak dijadikan prioritas utama karena ia lebih memikirkan kehidupan kedua anaknya.

“Kulo mpun nyerah Bu. Terserah kepala sekolah mawon, ditokne nggeh mboten nopo-nopo”, jelasnya dengan bahasa Jawa.

Tak lama setitik air mata melintas di pipinya yang tirus. Ada luka yang tampak ia pendam.

“Kulo niki nyesel kok mboten saget ndidik anak kulo, padahal kulo niki guru. Anak kulo kaleh jaler sedoyo. Seng setunggal gor lulusan SMA mboten purun kuliah malah dadi kuli neng Jakarta. Seng setunggal kok kegodo wedokan yo niku simbokke putu wedok.  Jadi begini Bu, putro kulo niku mbien nggih sekolah. Neng tengah-tengah kok ono cah wedok nyenengi putra kulo nganti pengen rabi. Padahal karep kulo ki yo mbok sekolah seng duwur nganti sekolah tinggi opo universitas. Hancur harapan kulo bu. Loro ati iki”

Aku terdiam mencoba bisa merasakan luka hati seorang ayah yang sudah sepuh dan harus hidup sendirian diliputi rasa penyesalan yang dalam. 

“Sakniki Elisa teng pundi nggih mbah?”, tanya bu Hastuti.

Setelah menghembuskan nafas panjang ia melanjutkan kembali.

“Kulo mboten ngertos bu. Mung nggeh kulo krungu bocah niku ngekost mergo diusir saking nggriyo ibuke. Teng mriki nggeh kulo pun mboten purun. Lha bengi-bengi muleh kaleh cah lanang. Kulo seneni Bu, bar niku bocahe minggat. Kulo mboten kaget seng nggenah bibit, bebet, bobot niku penting sanget. Ibuke bocah niku nggeh mboten nggenah mustine nurun teng anakke”

“Ibunya itu nggak bener Bu. Saya ndak pernah merestui anak saya menikah sama ibunya, kapanpun nggak lilo ati saya. Ternyata benar jadi kenyataan, anak wedokke yo nggak nggenah. Untung dulu adiknya dijual ke pak Samekto. Saya dukung Bu. Timbang urip dididik nggak bener mending kasih orang lain apa keluarga lain yang lebih baik”, lanjutnya.

Aku ingat Elisa pernah bercerita tentang adiknya yang dijual. 

“Kalau Ibunya nopo mboten gadah nomor hape njih?”

“Wah nomornya gonta ganti Bu. Tapi saya coba kasih yang ini saja njih Bu,” ia mengeluarkan secarik kertas kemudian menulis sederet nomor telepon.

“Ngapunten Pak, bapaknya Elisa sendiri sekarang apa ya masih suka menghubungi atau maaf memberi nafkah ke Elisa?”

“Putra kulo mboten saget dijagakke bu. Penghasilannya nggak pasti. Apalagi rabi meneh tur nduwe anak meneh. Ya selama ini saya ikut membantu meskipun kondisi pas-pasan,” jelasnya

Ada sedikit penyesalan mengutarakan pertanyaan itu, tapi kondisi seorang anak kupikir sebagai ayah kandung tetap memiliki tanggung jawab untuk menafkahi. 

Aku dan bu Hastuti kembali ke sekolah dan menyusun rencana ke depan sampai pada pelimpahan permasalahan ke kepala sekolah.

Bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat