Gadis Berambut Punk (11)

Oleh: Hanifatul Hijriyati

Hatiku masih berharap secercah harapan agar Elisa bisa bertahan, namun pikiranku menganggap itu hal yang bisa jadi mustahil. Aku tak bisa menghubungi ibunya dan nomor telepon yang kudapat benar-benar tidak terhubung. 

Besoknya Elisa masuk sekolah. Binar matanya semakin memudar, rambutnya masih diikat ke bagian belakang namun semangat itu kulihat semakin meluntur. Aku langsung menghadangnya dengan berbagai pertanyaan. Aku berharap tidak memberikannya sedikit pun celah untuk mencari-cari alasan ataupun  membuat pembelaan.

“Iya Bu saya kost. Dan Saya memang butuh uang”

“Buat apa? Saya sudah ketemu sama simbahmu jadi sekarang siapa yang bikin masalah?,” timpalku.

“Simbah saya itu kebanyakan aturan Bu. Saya nggak bisa bebas”

“Jadi kamu mau bebas? Lalu kenapa kamu sekolah?”

“Karena saya ingin pintar Bu”

“Tapi di sekolah kamu diajarkan untuk patuh pada aturan”

Ia terdiam. Kubiarkan pikirannya menjelajah untuk mencari-cari alasan yang tepat. Aku sudah membentengi diriku agar tak begitu saja percaya ucapannya.

“Ya tapi kan saya juga punya hak Bu untuk bebas”

Aku mengernyitkan dahi. Kuyakin otaknya semakin tidak beres.

“Bebas gimana maksudnya?”

“Ya nggak diatur-atur bu”

“Ok kalau begitu. Kamu bisa bebas, lakukan apa saja dan juga bebas dari orang yang mengkhawatirkanmu! Caranya lepaskan semua ikatan. Kamu nggak perlu menganggap kamu punya keluarga, ibu, bapak bahkan simbahmu dan juga nggak punya ikatan dengan sekolah termasuk gurumu. Maka kamu benar-benar bisa bebas!,” timpalku.

“Ya karena itu Bu. Karena saya sudah tidak punya keluarga bahkan orang yang peduli sama saya,” jawabnya datar.


Aku geram mendapat jawabannya.

“Berarti sifat peduli itu membiarkan kamu begitu saja? Sifat peduli itu kamu dibebaskan melakukan apa saja bahkan lanangan?,” tanyaku dengan nada tinggi.

“Karena memang sudah tidak ada yang peduli sama saya Bu,” ulangnya lagi.

Aku hampir saja marah. Tapi tentu kemarahanku harus kutahan dalam-dalam. Yang kuhadapi adalah gadis yang sudah kehilangan setengah akal sehatnya. Jiwa yang sudah terkikis dari naluri dan benar-benar tidak mampu lagi membedakan jalan terjal bahkan jalanan halus.

“Saya minta nomor telepon ibu atau bapakmu. Karena merekalah orang yang paling bertanggung jawab dalam hidupmu,” tegasku.

“Nomor ibu saya gonta ganti Bu,” dalihnya

“Bapakmu?”

Ia menggelengkan kepala memberi jawaban ia tidak memilikinya. Aku menghela nafas. Beberapa minggu lagi ujian kenaikan kelas akan tiba. Tentu pengambilan keputusan untuk mengeluarkannya dari sekolah tidak semudah itu. Berbagai pihak terutama orang tua harus diberi surat atau pemberitahuan. Jika simbahnya sudah lelah untuk peduli padanya aku masih berharap pada orang tuanya. 

Meskipun harapanku bisa jadi hanya seperti gumpalan asap yang terbang ke udara lalu menghilang. Tak ada artinya. Aku tidak melihat ada keinginan orang tuanya untuk benar-benar bertanggung jawab. Kondisi seperti ini acap kali kutemui pada siswa ku. 

Orang tua yang bahkan terang-terangan tidak mau mengurus anaknya hingga sama sekali tak peduli dengan berbagai faktor. Mereka siap menikah tapi banyak yang tak pernah siap menjadi orang tua. Kemarahanku lebih kuarahkan pada orang tuanya. 

Kuijinkan Elisa memasuki kelas dan mengikuti pembelajaran. Sampai ujian kenaikan kelas kehadirannya akan menjadi keutamaanku untuk terus memantau. Surat pernyataan kubuat padanya. Jika sampai ada hari di mana ia tidak masuk maka keputusan dikeluarkan dari sekolah menajdi keputusan yang bulat. Kebohongan-kebohongan yang telah ia tunjukkan pada siapapun termasuk guru adalah alatku yang lain untuk memepermasalahkan perilakunya.

Aku dan bu Hastuti terus berupaya menghubungi orang tuanya terutama ibunya.  Atau setidaknya anggota keluarganya yang lain. Muhammad Ali, siswa kelas XI IPS yang masih sepupunya merupakan anak dari kakak laki-laki ibunya. Aku memanggilnya ke ruang kantor.

“Li, sama Elisa kamu masih punya hubungan keluarga to?,” tanyaku

“Ya masih Bu. Dia itu kan anaknya bulek saya. Ibunya adik dari bapak saya”

“Gini, saya bisa minta nomor telepon bapakmu? Ini mengenai ibunya Elisa. Setidaknya Bapakmu itu bisa jadi walinya. Saya kan butuh komunikasi sama ibunya Elisa”

“Wah mending nggak usah Bu. Bulek saya itu sudah nggak dianggap sama keluarga besar kok Bu. Bapak juga sudah judeg ngurusnya. Dinasehati, ditegur sampai dibilang baik-baik nggak mempan. Keluarga sudah nggak peduli Bu. Dulu Bapak juga sudah siap mau nerima Elisa di sini, tapi melihat kelakuannya Bapak nggak mau. Simbah Kakung masih mau tapi sekarang juga sudah nggak mau. Sudah Bu, mending nggak usah minta Bapak saya. Percuma Bu,” jelasnya.

“Nomor telepon yang bisa dihubungi misal? Bapakmu juga nggak tahu?”

“Nggak tahu Bu. Nomornya bulek saya saja gonta-ganti. Jangankan nomor, suami juga kok Bu,” jawabnya cengengesan.

“Seberapa banyak lagi yang kamu tahu tentang Elisa?”

“Banyak Bu. Dia kan punya adik yang sudah dipek pak Samekto. Adiknya laki-laki. Sekarang sudah agak besar sih Bu. Dulu itu kan Elisa suka menjenguk adiknya. Nah suatu hari pak Samekto marah-marah nelpon Bapak saya. Dia bilang Elisa sudah bertingkah kurang ajar akhirnya Elisa dilarang sama sekali untuk ketemu sama adiknya. Karena itu Bu, bapak saya sudah tidak mau lagi dihubungi macam-macam yang berkaitan sama Elisa atau Ibunya”

Aku menangguk dan memahami kondisinya. Kupersilakan Ali untuk kembali ke kelas. Untuk sementara kusimpulkan bahwa Elisa bisa jadi benar-benar menjadi gadis yang memiliki kebebasan yang kelak justru menciptakan ikatan kuat hingga ia tak kan mampu keluar.

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat