Gadis Berambut Punk (12-Tamat)

Oleh: Hanifatul Hijriyati

Menjelang Ujian Kenaikan kelas, aku menekankan kembali pada Elisa bahwa aku akan tetap mengejar kedua orang tuanya. Raportnya akan ku tahan selama orang tuanya tidak mengambil. Dalam durasi waktu tertentu orang tua tidak mengambil maka akan dianggap ia keluar dari sekolah.

“Ya Bu. Ibu saya sudah berjanji akan ke sini. Dia nanti dipastikan bisa datang ke sekolah Bu,” ujarnya.

Aku masih belum bisa memegang ucapannya namun janjinya tetap kuanggap sebagai hutang yang kelak tetap akan kutagih.

“Beneran Bu. Saya janji bahwa ibu saya pasti ke sini,” tekannya setelah kuperlihatkan wajah kurang percayaku padanya.

“Ok. Saya tunggu”

Selepas Ujian kenaikan kelas, pengarsipan nilai maka mulai penetapan rapat dewan guru untuk menentukan jumlah siswa yang naik ataupun tidak dinaikan jika ada. Mengenai Elisa, aku dan Bu Hastuti sepakat menyerahkannya ke dewan guru.

Perdebatan mengenai seorang siswa bisa naik atau tidak karena masalah perilaku bisa menghabiskan setengah waktu rapat. Aku mengemukakan permasalahan Elisa ke forum. Secara akademis, Elisa hampir tidak memiliki masalah. 


Ia dapat menyelesaikan dan menjawab soal ulangan dengan baik pada hampir beberapa mata pelajaran. Masalah kehadiran, Elisa belum dapat dikategorikan sebagai siswa yang tidak bisa naik kelas karena  batas ketidakhadiran tidak mencapai kuota untuk tidak naik kelas. 

Kebohongan-kebohongan yang ia buat belum menunjukkan tindakan aksi melanggar hukum. Namun potensi perilaku menyimpang yang kemudian hari bisa ia lakukan bisa meupakan ancaman bom waktu tersendiri. 

Aku belum menekankan pada forum untuk tidak menaikkan Elisa karena hati kecilku sendiri masih menyisakan harapan meskipun harapanku bisa jadi hanya seserpihan debu. 

Akhirnya dewan guru dan kepala sekolah membeirkan kesempatan Elisa untuk naik kelas. Syaratnya, orang tuanya harus datang ke sekolah. Tanpa itu, nasib Elisa berakhir di kelas X untuk mengulang atau ia diminta mengundurkan diri.

Pada hari penerimaan rapot aku tidak bertemu dengan ibunya Elisa sama sekali. Hingga pukul dua belas siang. Aku masih di kantor saat Elisa menghampiriku.

“Bu, maaf, Ibu saya tidak jadi ke sini,” paparnya.

Aku diam.

“Gimana Bu? Kalau saya saja yang ambil rapot saya?”


Aku masih diam.

“Bu saya mohon Bu, saya ambil rapot saya sendiri ya Bu,” kali ini ia memohonku.

Aku menatapnya.


“Kamu berjanji  ibumu mau ke sini kan! Maka saya akan tunggu ibumu untuk ambil rapot,” tegasku.

“Tapi Ibu saya nggak jadi ke sini Bu”

“Kalau gitu bapakmu! Simbahmu atau siapa saja yang jadi walimu”

“Nggak ada yang mau Bu! Jadi biar saya saja”

Aku tetap menolaknya.

“Saya nggak punya wali,” desaknya.

“Orang yang bertanggung jawab atasmu!,” ulangku lagi.

“Saya bertanggung jawab atas diri saya sendiri Bu!”

Aku tak dapat menahan emosiku. Otaknya semakin konslet saja. Ketika kubiarkan ia berbicara semakin kubiarkan ia berkata melantur ke mana-mana.

“Sa, setiap orang, anak orang, itu ada yang bertanggung jawab atasnya! Ya kecuali orang tuamu sudah mati, mbahmu mati atau seluruh anggota keluargamu mati! Mereka mati pun kamu tetap berada di bawah tanggung jawab lainnya! Misal dinas sosial atau lembaga! Paham!”

“Tapi memang nggak ada yang mau bertanggung jawab untuk saya Bu,” desaknya untuk kesekian kalinya.

Aku makin geram.


“Jadi gini, misal kamu mati, mayatmu dibuang di sungai Bengawan Solo dan terdampar sampai ujung jawa Timur. Ke mana kira-kira mayatmu akan dikirim pulang?”

Ia terdiam. Sejenak berpikir.


“Kemungkinan ke bapak saya atu simbah saya Bu”

“Itu namanya berarti ada orang yang bertanggung jawab padamu. Apapun kondisinya, seburuk apapun mereka di matamu, sejahat apapun mereka, mereka adalah orang yang punya tanggung jawab atasmu”

“Tapi jika nggak ada yang mau Bu?”

“Yang nggak mau itu kamu!”

Aku pergi meninggalkannya setelah ia terdiam cukup lama.

“Saya tetap menunggu itikad baik orang tuamu,” tegasku.

Penangguhan kenaikan kelas bagi Elisa telah diputuskan. Selama hampir liburan kenaikan kelas akan habis, tak ada itikad orang tuanya untuk menemuiku. Entah orang tua macam apa mereka. Bagiku Elisa adalah jiwa belia yang terluka dalam karena pengabaian kedua orang tuanya.

 Mungkin yang ia inginkan hanyalah kasih sayang sesungguhnya. Aku tidak menampik kenyataan penyimpangan perilaku sosial dari ibunya sangat memberi pengaruh pada pola pikir gadis itu. 

Namun sebagai gadis remaja yang bisa menilai baik buruk dan memiliki kekuatan untuk menolak tentu bagiku Elisa sesungguhnya bisa diselamatkan dari kekonsletan pikirannya. Aku tak melihat peran ayahnya di sini. 

Berbagai kasus perilaku sosial yang kuhadapi, hampir semuanya memiliki kealpaan tanggung jawab seorang ayah.  Sekolah memutuskan untuk mengeluarkan Elisa.

Tahun ajaran baru dimulai. Hingga akhirnya kabar tentang Elisa terdengar. Anggota satpol PP hingga kepolisan Polres kota menyambangi sekolah. 

Kabar buruknya adalah Elisa masuk salah satu daftar gadis yang terciduk dalam operasi pembersihan hotel dari prostitusi remaja. Ia tertangkap basah. Gadis itu masih menyimpan seragam sekolah lengkap dengan badge namanya di dalam tas. Petunjuk itulah yang membawa tim penciduk menyambangi sekolah.

Entah ia memang sengaja beraksi untuk melakukan balas dendam atau sengaja ingin menggegerkan sekolah. Ia sengaja membawa seragam ke dalam hotel dengan status siswa yang sudah dikeluarkan. Aku memilih diam seribu bahasa sebelum beberapa wartawan menyerbu dengan pertanyaan. 

Pihak sekolah segera membuat klarifikasi bahwa Elisa bukan siswa di sekolahku lagi. Berbagai bukti surat dikeluarkan dan sangsi disiplin dari pihak BK sudah ditunjukkan.  Pihak kepolisian menerimanya dan Elisa diproses secara hukum. Ia cukup direhabilitasi lalu keluar.

Beberapa bulan kemudian aku bertemu dengan Elisa. Tanpa binar mata dan semangat seperti dulu. Ada yang berbeda dengan potongan rambutnya. Gaya rambut punk dengan warna orange. 

Ia bersama seorang laki-laki muda bertato. Wajahnya tidak sebening dulu. Tak ada cahaya itu lagi. Ia menyalamiku dan mengatakan ia akan pergi ke Jakarta menemui ibunya. Ia kemudian berlalu dariku dengan sepeda motor butut bersama lelaki muda itu.

Hempasan suara keras knalpot sepeda motor dibarengi asap hitam yang mengepul membawanya pergi dan menyapu semua ingatanku akan semangat belajarnya. 

Ke mana semua teori itu? Ke mana teori ilmu ekonomi yang ia peroleh di bangku kelas? Pelajaran Matematika, PPkn, Geografi, Biologi, Bahasa Inggris hingga Agama? Itu seperti menguap begitu saja bersama kepulan asap knalpot yang hitam. Hilang, lenyap, tiada arti.


Tamat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat