Gadis Berambut Punk (2)
Oleh: Hanifatul Hijriyati
"Berapa lama kamu jadi anak jalanan?"
"Ya selama saya di Jakarta Bu. Dari kelas 4 SD sampai SMP"
"Lha orang tuamu di mana?"
"Orang tua saya nggak masalah kok Bu"
Jawabannya masih menyisakan tanda tanya bagiku. Namun karena jam pelajaran usai kutunda dulu beberapa pertanyaan yang masih menggantung di kepalaku. Biar kulihat perkembangannya beberapa hari ke depan.
Beberapa minggu ke depannya aku mulai mengumpulkan data pribadi siswa kelas X. Kukumpulkan beberapa informasi pribadi siswa. Dari dengan siapa mereka tinggal, apakah dengan orang tua, nenek atau kakek hingga anggota keluarga yang lain.
Kondisi orang tua yang apakah lengkap, atau tidak ada juntrungannya hingga orang tua yang menjadi TKI sampai puluhan tahun tidak pulang. Bahkan kondisi orang tua bercerai. Keadaan seperti ini untuk menilai potensi masalah ke depan.
Mungkin bagi beberapa guru yang mengajar di sekolah perkotaan tidak begitu mengalami banyak permasalahan karena kemampuan siswa untuk memecahkan masalah pribadinya lebih tinggi dibanding sekolah pinggiran dengan kondisi kognitif yang lebih beragam.
Jamak ditemukan siswa bermasalah kemudian karena ketidakhadiran orang tua, dari yang ditinggal begitu saja dengan neneknya, perceraian, sampai orang tua menjadi TKI dan tak jelas juntrungannya.
Semuanya hampir memiliki faktor permasalahan yang sama yaitu faktor ekonomi. Saat itu sistem zonasi sekolah belum diterapkan. Sampai Elisa aku menemukan fakta yang menarik. Orang tuanya bercerai saat ia di bangku SMP dan ia sempat hidup di jalanan ibu kota. Ia tinggal bersama kakek dari ayahnya di sini.
Perkembangan belajarnya mulai kuamati. Ia memiliki kemampuan yang cemerlang pada pelajaran tertentu. Termasuk bahasa Inggris.
Aku memeriksa data biodata tentang kedua orang tuanya. Tapi tak kutemukan pekerjaan mereka.
Tiba-tiba pada suatu hari ia bertanya padaku.
"Bu, kalau saya ijin minggu depan ke Jakarta gimana Bu? Boleh nggak Bu?"
"Ada urusan apa kamu ke Jakarta?," tanyaku menyelidik.
"Saya diminta ke Jakarta sama ibu saya. Kan ibu saya masih di Jakarta Bu"
" Ya urusannya apa ibumu nyuruh kamu ke Jakarta?," tanyaku memaksa.
"Saya nggak tahu Bu. Kayaknya ada sesuatu deh Bu"
"Kalau begitu saya minta no hape ibumu. Biar saya telepon," pintaku terus memaksa.
"Nggak usah ding Bu. Lagian ibu saya sering gonta-ganti nomor," potongnya lalu ia berlalu.
Ada penuh praduga awal yang menyelimuti otakku. Mungkin karena aku sudah merasa ada sesuatu pada gadis itu sejak awal. Aku pun terus memberinya pertanyaan secara personal yang membuatku berkesimpulan tentang prahara perceraian kedua orang tuanya.
Ibunya di Jakarta dan ayahnya berada di Purwokerto. Kenapa bisa? Karena ayahnya menikah lagi dengan perempuan Purwokerto yang usianya masih dibilang sangat muda. Mereka baru saja memiliki anak lagi. Elisa membenci ibu tirinya yang menurutnya cuma bermodal cantik.
Kekesalannya bertambah ketika ayahnya juga tidak memiliki pekerjaan tetap. Ia bisa bekerja serabutan sebagai buruh ataupun kuli selama di Jakarta. Di Purwokerto pun kehidupan kesehariannya hanya bertopang pada mertuanya.
Elisa semakin membenci ayahnya. Lalu ibu kandungnya sendiri? Aku masih belum memiliki informasi yang lebih akurat hingga akhirnya Elisa sendiri yang bercerita.
"Ibu saya sudah nikah lagi Bu. Sama juragan truk di Jakarta. Tapi yaaa gitu deh Bu, ibu saya cuma jadi istri ketiga atau malah keempat", ceritanya datar.
Tak ada emosi saat ia menceritakannya. Hanya mencoba menyembunyikan getir yang tersisa di bola matanya. Kupikir ia mencoba mengendalikan dirinya sebaik mungkin di hadapanku.
Tak ada kesedihan ataupun kemarahan. Yang ada hanya seribu diam yang kelak akan menjadi bom waktu dalam dirinya.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar