Gadis Berambut Punk (3)
Oleh: Hanifatul Hijriyati
“Dari mana kamu tahu ibumu jadi istri ketiga atau keempat?”
“Ya tahulah Bu. Saya kan juga nggak bego-bego amat. Bapak tiri saya itu sudah punya keluarga resmi, anaknya juga sudah gede-gede. Saya tahu semuanya, berapa istri simpanannya dan di mana saja,” jelasnya tanpa letupan emosi.
Aku menarik nafas panjang. Bayanganku meraba kehidupan seperti apa yang ia jalani di Jakarta. Gadis belia seumurannya sudah harus menghadapi situasi yang seharusnya hanya diketahui orang dewasa. Tentu ini lebih menyakitkan daripada harus mengetahui perceraian kedua orang tuanya.
Binar matanya masih menyisakan kekuatan untuk melawan, tapi yang kulihat tanda-tanda perlawanan itu mulai meredup. Nada bicaranya yang tenang, santai seolah ia tidak tersentuh dengan emosi perlawanan dalam dirinya justru membuatku sedikit takut.
“Memang di mana saja Sa?,” tanyaku.
Ia tertawa kecut. “Istri sahnya itu di Depok bu, lalu dia punya simpenan juga di daerah Kramat Jati, Jatinegara sampai Bekasi. Saya tahu Bu. Dikira dia saya bego”
“Kamu sendiri tinggal di mana pas di Jakarta?”
“Pondok Gede Bu. Di sana ibu saya ngontrak juga dan sekarang yang bayar kontrakannya ya bapak tiri saya. Tapi saya sih nggak peduli Bu. Selama dia bisa kasih uang ke saya. Dia mau kayak apa sama ibu saya itu bukan urusan saya,” jelasnya.
Sampai di situ aku tidak menangkap emosi kemarahan. Entah karena muak atau memang karena sudah tidak peduli. Kerasnya kehidupan Jakarta hingga kesulitan ekonomi dipadukan dengan kemiskinan telah membentuknya menjadi gadis yang menerabas mainstream dengan ego dan perlawanananya sendiri.
“Lalu yang mengirimi uang sama kamu itu ibumu, bapak tirimu atau bapak kandungmu?,” tanyaku lagi.
“Bapak tiri saya tapi ya lewat Ibu, kadang mbah saya dari ibu juga kasih uang jajan. Kalau Bapak nggak usah diharapkan Bu. Bapak saya tu nggak punya uang, malah kawin lagi sama cewek yang masih muda. Dan sekarang punya bayi. Saya benci dia bu. Saya nggak mau mengakui bayi itu adik saya! Emoh! Kalau bapak saya pulang ke sini sama istri barunya saya ngaleh. Sekarang saya milih tinggal sama mbah dari ibu saya Bu,” jelasnya, kali ini dengan letupan emosi. Kemarahan jelas kulihat dari matanya. Kebencian pada ayahnya serta kenyataan ayahnya memiliki anak lagi dari istri barunya.
Informasi terbaru yang kudapat ialah ia tidak tinggal dengan mbah dari ayahnya lagi. Desa di mana keluarga ayah maupun ibunya berasal tidak terlalu jauh. Perbedaannya hanya sekitar 10 kilo meter.
“Berarti kamu sering berhubungan sama ibumu sekarang?”
Ia menganggukkan kepala. Kuminta nomor telepon ibunya yang bisa kuhubungi tetapi selalu saja tersambung pada voice mail. Ia lalu berdalih jika nomor telepon ibunya sering berganti.
Minggu depannya ia tidak masuk sekolah. Kupikir apa ia benar-benar ke Jakarta. Ia tidak masuk tanpa keterangan. Teman satu kelasnya bercerita jika ia pergi ke Jakarta untuk menemui ibunya. Firasatku tidak enak. Aku tidak pernah mengijinkannya untuk pergi ke Jakarta selama hari efektif sekolah. Terlebih lagi aku tidak bisa menghubungi ibunya. Satu-satunya cara aku mencari infromasi dari mbahnya yang rumahnya tidak begitu jauh dari sekolah.
Hingga pada suatu malam, telepon selulerku mendapat pesan SMS. Elisa mengirimkanku SMS jika ia ingin bunuh diri. Ia jenuh dengan hidupnya dan ia membenci semua yang terjadi padanya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar