Gadis Berambut Punk (4)
Oleh: Hanifatul Hijriyati
Aku langsung menekan nomor yang muncul di layar teleponku. Aku ingin segara memastikan jika itu benar-benar dari Elisa.
“Halo, Bu guru!”
Benar saja. Itu suara Elisa.
“Kamu ada di mana sekarang? Masih di jakarta?”
“Enggak Bu. Saya sudah pulang”
Nada bicaranya datar. Aku tak menangkap kecemasan. Jadi kupikir ia masih bisa diajak bicara dengan tenang.
“Kamu cerita ada apa? Ibu kamu bilang apa?”
“Nggak bilang apa-apa Bu. Saya sudah benci sama mereka semua”
“Jika kamu bunuh diri apa menyelesaikan masalah? Cerita saja sama saya dan jika kamu mau nangis, nangis saja,” bujukku.
Ia masih terdiam. Aku tidak mendengar isak tangis atau kesedihan. Setahuku ketika seseorang mengungkapkan ingin bunuh diri pada orang lain sesungguhnya ia ingin didengar dan tidak benar-benar ingin bunuh diri.
Dorongan bunuh diri yang kuat justru muncul secara diam-diam, tak terduga dan tanpa pemberitahuan. Jadi aku masih yakin bahwa sesungguhnya Elisa tidak benar-benar ingin bunuh diri.
“Bu, besok saya masuk. Besok saja saya cerita sama bu guru,” ujarnya. Suaranya merendah aku mulai mendengar getaran dalam dirinya.
“Ya sudah Sa. Yang kamu harus ingat di sekelilingmu masih banyak yang mau peduli sama kamu. Saya tunggu besok ya,” pintaku.
Ia menutup teleponnya. Malam itu aku berdoa semoga Elisa bisa lebih kuat dan kembali esok ke sekolah.
Esoknya aku di sekolah bertemu dengan Elisa. Ia menggerai rambut lurusnya sebahu. Binar matanya masih menyorotkan semangat dan letupan energi. Aku tidak melihat cahaya itu meredup. Apakah kemudian ia kembali mendapatkan semangat hidupnya setelah kutelepon malam itu? Aku belum dapat memastikan. Kuminta ia menemuiku di ruang konsultasi ruang BK.
Menurutku ruang BK lebih memberikan rasa nyaman karena memiliki ruang konsultasi sendiri yang tertutup. Sebelumnya aku sudah berbicara terlebih daulu dengan bu Hastuti, guru BK yang menangani konsultasi siswa kelasku.
Elisa datang ke ruang BK. Ia tersenyum padaku. Binar kedua matanya menunjukkan Ia bukanlah gadis dengan gairah yang biasa-biasa saja. Meskipun gairah yang kutangkap belum bisa menerjemahkan seperti apa sesungguhnya Ia.
Wajah putihnya khas usia remaja seumurannya menyisakan semangat kebeliaan yang kuyakin ia masih menyimpan kekuatan unytuk berupaya terus hidup. Rambutnya sebahau yang ia gerai dihiasi bandana pink yang melekat di atas kepalanya. Ia lalu mengikat rambut lurunya dengan karet rambut yang telah ia bawa. Ia tampak beda saat itu. Kuharap energi kehidupannya menjadi lebih besar saat itu.
Sesungguhnya ia tidak banyak bercerita tentang keseluruhan yang terjadi saat ia bertemu ibunya. Ia lebih banyak bercerita tentang rencana yangingin ia lakukan ke depan.
“Bu, sekarang saya ikut ekstra musik”
“Oya? Bagus dong”
“Iya bu, saya kan bisa main gitar,” jelasnya lagi.
“Saya tunggu penampilanmu”
Ia menangguk. Aku masih menunggunya untuk bercerita hal lain. Tentang SMS nya malam itu. Akhirnya kumengawali denagn pertanyaan.
“SMS semalam maksudnya apa Sa?”
Ia terdiam sejenak. “Nggakpapa Bu,” seperti ada hal yang ia sembunyikan.
“Gini Sa, gimana kalau mulai sekarang kamu saya larang ke Jakarta untuk ketemu ibumu. Kamu harus selesaikan pendidikanmu di sini. Kamu bilang dulu simbahmu kan juga membiayaimu,” pancingku.
“Ya gitu Bu sebenarnya. Ketika orang tua saya cerai sebenarnya saya itu jatuh ke bapak saya. Tapi saya sendiri nggak suka sama bapak saya. Ibu saya juga jarang pulang ke sini,” paparnya datar.
“Pas kemarin kamu ke Jakarta ibumu bilang apa?,” tanyaku langsung.
“Nggak bilang apa-apa sih bu. Cuma saya ketemu bapak tiri saya. Katanya dia mau beliin saya motor Mio untuk sekolah”
“Oya?”
“Iya Bu. Tapi dengan satu syarat. Saya mau melayani dia,” Ia tersenyum padaku.
Aku terdiam. Pikiranku melayang entah ke mana. Mengapa Elisa bisa setenang itu? Mengapa ia seolah beranggapan itu adalah lelucon yang tak perlu dianggap serius? Nada bicaranya seolah ia sudah terbiasa dengan godaan lelaki hidung belang.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar