Gadis Berambut Punk (5)

Oleh: Hanifatul Hijriyati

“Lalu kamu bilang apa?,” tanyaku dengan tatapan yang tajam. Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan amarahku.

“Ya saya bilang nggak mau lah Bu,” ucapnya seraya meninggikan bahunya. Meskipun aku belum begitu yakin akan jawabannya, aku berusaha menunjukkan jika aku percaya padanya.

“Mulai sekarang kamu tidak boleh ke Jakarta lagi”, perintahku.
Masih ada keraguan yang kutangkap dari matanya. Namun aku juga tidak melihat penolakan.

“Kamu masih mau sekolah di sini kan?,” tanyaku lagi. Ia mengangguk.

“Apakah kamu tahu jika ajakan bapak tirimu itu sudah masuk kategori pelecehan seksual? Dan yang saya tangkap jika bapak tirimu ini adalah laki-laki yang  berbahaya. Untuk gadis macam kamu sesungguhnya pun cukup berani untuk menampar mulut bapakmu itu,” ujarku geram. Aku ingin sekali memancing kemarahannya. Aku ingin melihat gadis itu marah karena dilecehkan, sama halnya aku ingin melihat ia menangis keras karena perilaku tidak adil.

“Saya sih udah biasa bu. Lagian saya juga sudah bilang ibu saya tapi dia juga nggak marahin bapak tiri saya,” jelasnya lagi. Masih dengan nada datar.

Aku semakin menangkap ketidakberesan. Entah otak ibunya yang sudah tak beres  hingga menular pada anak gadisnya. Kegeramanku adalah sikapnya yang terlihat biasa saja dengan perilaku  merendahkan dirinya. Namun aku mulai mencoba memahami kondisinya dari perspektif yang berbeda. Kehidupan ekonomi yang  buruk baik dari bapak kandungnya dulu hingga ibunya, keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan pemahaman norma susila menjadikannya terbiasa dengan perilaku sosial yang tak memiliki batas. Pengalamannya menajdi anak jalanan adalah simbol perlawanan pada kondisinya sendiri., Orang tua yang tak peduli hingga miskinnya kasih sayang yang ia terima. Aku tidak menutup mata pula jika ia dekat dengan kehidupan pelacuran baik yang sifatnya diam-diam maupun terbuka. Satu-satunya jalan adalah ia harus memutus mata rantai ini. Hubungannya dengan orang tuanya harus diputus apa pun alasannya.

“Sa, dengar saya. Kamu mau saya ajak untuk hidup yang lebih baik?,” tanya saya tegas.

“Mau bu. Saya mau tetap bisa sekolah,” ujarnya dengan tatapan yang tegas pula.

“Maka manut sama saya ya Sa. Saya minta nomor telepon simbahmu baik dari bapakmu atau ibumu. Yang kedua, mulai dari sekarang kamu jangan hubungi ibumu lagi! Apa pun alasannya. Masalah biaya kamu bisa minta mbahmu kan? Jika ada perlu lain-lain lagi kamu bisa hubungi saya. Selagi itu untuk masalah sekolahmu saya bisa bantu,” perintahku. 

Pembicaraan hari itu diakhiri. Setidaknya aku sudah memegang informasi berupa nomor telepon simbahnya baik dari ayahnya maupun ibunya. 

Beberapa hari berlalu dan aku belum melihat hal yang  di luar batas terjadi padanya. Aku juga tidak mendapatkan infromasi macam-macam lagi tentang Elisa. Hasil nilai ulangannya pada tiap mata pelajaran cukup baik. Hingga sampai ujian tengah semester,  ia unggul dalam beberapa mata pelajaran.  

“Bu sekarang saya sudah punya pacar,” akunya. 

Aku sedikit terkejut dengan pengakuannya. 

“Pacar saya kakak kelas bu, anak Rohis,” jelasnya lagi.

Aku menoleh dnegan pandangan kurang percaya. “Memang ada anak rohis yang mau pacaran? “

“Iya bu adalah. Dia anak IPA kok bu. Saya ingin lebih mengenal Tuhan lagi makanya saya pacaran sama anak rohis. Siapa tahu bisa bikin saya insaf,” ujarnya dengan senyum lebar.

“Untuk mengenal Tuhan kenapa harus macarin anak rohis?,” tanyaku lagi menelisik.

“Yaa kan rasa kasih sayangnya kelihatan bu. Ya udah bu, saya cuma mau bilang itu,” lalu ia berlalu.

Aku masih terpaku. Tidak sulit mencari informasi siapa yang menjadi pacarnya. Segara kudapat informasinya.

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat