Gadis Berambut Punk (6)
Oleh: Hanifatul Hijriyati
Beberapa hari kemudian Elisa menemuiku lagi.
“Bu saya sudah putus”
Sedikit terkejut aku menoleh padanya. Hubungan yang begitu singkat bagiku bukanlah hal yang begitu luar biasa kutemukan pada remaja. Tapi bagiku ini lucu saja. Aku tak pernah berpikir bahwa Elisa adalah gadis yang begitu mudah menyerahkan hatinya. Melihat latar belakang kehidupannya yang keras, bagaimana ia merespon perilaku dengan lawan jenis baik muda hingga yang lebih tua darinya membuatku berkesimpulan bahwa Elisa bukanlah gadis yang begitu saja mudah menyandarkan segalanya berdasarkan perasaan saja. Kalaupun benar ia menjalin hubungan dengan anak laki-laki bukan berarti tanpa motif ataupun tujuan. Ia bukan gadis polos yang menganggap ketulusan cinta adalah alasan masuk akal untuk berurusan dengan laki-laki.
“Bagus kalau begitu. Terus kamu sudah insaf belum?” tanyaku.
“Belum bu hehe. Tapi saya sudah rajin sholat lho bu sekarang.”
Aku tersenyum dan memberinya pujian.
“Dulu saya itu rajin sholat lho bu trus juga juara ngaji. Rumah saya kan dekat masjid. Jadi saya merasa begitu dekat dengan Tuhan,” ungkapnya.
“Lalu sejak kapan kamu nggak melakukan hal itu lagi?,” tanyaku
“Sejak pindah ke Jakarta ikut orang tua,” jawabnya.
Ia pernah dititpkan ke tempat simbahnya di saat orang tuanya merantau di Jakarta. Lalu pada kelas tiga Sekolah Dasar ia ikut ke Jakarta dan tinggal bersama orang tuanya. Di saat itulah kupikir pengaruh buruk mulai terpapar. Menjadi anak jalanan hingga perilaku sosial tak berbatas. Aku menyarankannya kembali agar tak menemui ibunya. Kuyakin kuncinya ada pada ibunya.
“Lalu sekarang bagaimana rasanya kamu bisa melakukan itu lagi?”
“Ya seneng bu”
“Ya semoga kamu terus merasa senang tanpa perlu berpacaran dengan anak rohis,” jelasku lagi.
Perkembangannya berangsur lebih baik. Ia mengikuti pentas seni dan menjadi vokalis band. Prestasi akademiknya juga bisa dikatakan sangat baik. Hingga akhir semester satu pada saat pembagian raport, simbah dari ibunya datang sebagai wali.
Kuceritakan perkembangannya selama satu semester termasuk aku mencoba menggali informasi terbaru tentangnya.
“Bu mohon njih jika ada kegiatan di luar saya itu dikabari melalui nomor saya. Soalnya pas hari Minggu dia sempat bilang ada kegiatan pramuka tapi pulangnya malam-malam sama laki-laki”
Deg.
“Apa cowoknya anak sini pak,” tanyaku pada beliau yang kupikir usianya belum sepuh sekali.
“Kayaknya ndak kok bu. Saya perlu beri tahu ini njih bu. Anak saya yang bungsu, yo ibunya cah ini itu punya kelakuan nggak jelas bu. Saya takut anak ini dipengaruhi ibunya. Dari dulu anak saya ini mbedani. Lha wong mase sama mbake ki yo jane apik-apik. Mase sudah mangkat haji. Yang ini agak nggak genah. Saya pikir apa saya salah didik dulu. Wes bu, yang jelas tolong putu saya ini diputus tenan hubungannya sama ibunya yang ngga nggenah itu. Jika ada apa-apa saya dihubungi njih bu,” jelasnya.
Ada kerut dan ketegasan yang kutangkap dari wajah tuanya. Namun aku mengerti sekarang dan bayangan seperti apa ibunya sudah ada dalam otakku.
Infromasi lainnya yang kuperoleh, keluarga ibunya sesungguhnya adalah keluarga yang memiliki kondisi ekonomi berkecukupan. Pamannya, alias kakak dari ibunya adalah pemilik bebebrapa toko kelontong pasar di desanya. Ia sudah berangkat haji.
Pamannya yang lain juga berniaga dengan hasil yang bisa dibelikan sebidang tanah. Simbahnya memiliki beberapa petak sawah dan kebun. Pekerjaanya bertani. Kenapa aku menanggap berkecukupan? Karena mereka memiliki kekayaan beberapa bidang tanah yang cukup luas.
Simbahnya sudah berinisiatif untuk mengasuh cucu perempuannya dari anak bungsu perempuannya yang ia anggap bermasalah. Simbahnya juga menambahkan biaya berapapun untuk membiayai pendidikan cucunya bukanlah masalah. Aku merasa yakin karena cucunya yang lain juag bersekolah di sekolah yang sama. Aku menarik kesimpulan bahwa kondisi Elisa belum sepenuhnya aman karena pengaruh ibunya bisa jadi masih cukup kuat.
Bersambung..
Komentar
Posting Komentar