Gadis Berambut Punk (7)
Oleh: Hanifatul Hijriyati
Pada detik itu aku masih meyakini bahwa satu-satunya yang mengubah jalan hidup seseorang adalah institusi pendidikan. Kemiskinan, keterbelakangan pengetahuan, hingga cacatnya moral , pendidikan formallah penyembuhnya.
Namun ternyata ada sebuah mata rantai penting yang aku luput melihatnya dari Elisa.
Semester kedua mulai berjalan di awal Januari. Seluruh Siswa masuk kembali setelah liburan semester pertama berakhir. Elisa tidak masuk pada hari pertama hingga hari berikutnya. Aku menghubungi nomor telepon simbahnya. Aku mendapat jawaban bahwa ia pergi ke Jakarta menemui ibunya. Ketika aku meminta nomor telepon ibunya tak ada yang tahu.
Mungkinkah Elisa kembali ke sini atau bahkan ia akan tetap di Jakarta? Simbahnya menuturkan bahwa ia tidak pernah mengijinkannya menemui ibunya akan tetapi ia bersikeras untuk tetap ke Jakarta. Aku mencoba menunggu sampai hari berikutnya.
Besoknya Elisa masuk sekolah. Seperti biasa, penampilannya segar dengan rambut lurus yang terikat di belakang. Wajah bulatnya masih terhiasai dengan binar bola matanya yang tajam dan bersemangat. Langkah kakinya mengayun ringan menuju ruang kelas. Aku mencoba menahan diri agar tidak mengintogerasinya dengan pertanyaan. Namun tentu saja aku tidak bisa menahannya lama-lama.
“Kamu habis dari Jakarta?,” tanyaku langsung.
“Iya bu,” jawabnya penuh semangat. Semangat yang kutangkap kali ini agak berbeda.
“Oh iya bu. Ibu saya sudah cerai. Tapi terus kawin lagi sama pemilik agen bus terminal Kampung Rambutan. Sekarang ibu saya pindah ngontraknya di sekitar Kampung Rambutan,” jelasnya tanpa kuminta.
“Kamu senang?,” tanyaku menelisik.
“Yaa senang nggak senang bu. Tapi ya itu ibu saya jadi isteri ketiga”
Aku berharap aku tidak mendengar infromasi ini tapi aku tidak bisa memaksa telingaku untuk tak mendengar. Seperti biasa, ia begitu santai menceritakannya sama halnya orang lain membahas kebiasaan makan dan minum, bekerja ataupun tidur. Mungkin begitu kebiasaan ibunya dimatanya.
“Kamu dikasih uang banyak sama bapak tirimu yang ini?” aku tak bisa menahan diri untuk menanyakan hal ini.
Ia menganggukkan kepalanya. Aku menelan ludah. Kepergiannya ke Jakarta untuk menemui ibunya sama saja menghidupkan bom waktu kembali dalam otaknya. Bisa jadi sebagian dari otaknya sudah terpapar candu kegilaan perilaku ibunya atau bahkan semua bagian otaknya.
“Sa, kenapa kamu temui ibumu lagi?”
“Dia minta untuk ketemuan”
“Simbahmu mengijinkan nggak?”
“Enggak. Saya nekat bu. Sekarang saya sudah tidak tinggal sama simbah saya lagi”
“Lalu sekarang kamu tinggal di mana?”
“Simbah dari bapak saya”
Setelah aku melakukan konfrimasi ternyata benar, ia sudah tidak tinggal bersama simbah dari ibunya. Alasan Elisa, simbahnya mengekangnya dan ia tidak suka aturan dari simbahnya. Alasan tidak diijinkan ke Jakarta untuk menemui ibunya adalah salah satu alasan ia benci diatur.
Jiwa pemberontak, benci diatur dan ego perlawanan dalam dirinya sudah menguasai otaknya. Entah kekuatan macam apa yang kelak akan meledak dalam dirinya. Hingga pada suatu waktu aku dipertemukan oleh ibunya.
Dengan ketidaksengajaan aku berpapasan dengannya di dekat wilayah sekolah. Ia hanya tersenyum dan menyapaku datar lalu pergi. Penampilan gadis kota dengan pernak pernik yang melekat sudah pasti membuat siapapun akan menilainya sebagai gadis desa yang terimbas pergaulan tanpa sekat dari ibu kota.
Aku tidak melihat semangat pada binar mata perempuan itu sama dengan binar anak gadisnya yang baru berkembang. Dari apa yang kulihat dan ku amati, pernikahan bukanlah ikatan yang membutuhkan tanggung jawab berarti di mata perempuan muda itu. Usianya masih sekitar tiga puluhan. Perempuan itu adalah ibu Elisa.
“Bu, saya sebenarnya punya adik laki-laki,” cerita Elisa tiba-tiba.
“Lalu di mana adikmu?”
“Ibu kenal pak Samekto yang anggota DPR itu kan bu?”
Aku menganggukkan kepalaku. Pemilik rumah yang sangat besar dan berasal dari partai besar penguasa daerah. Aku hanya mengenalnya sebagai anggota DPR dengan jumlah kekayaan yang banyak.
“Ibu saya menjual adik saya waktu baru lahir ke pak Samekto. Tiga juta bu”, paparnya datar.
Aku mencoba menyelami informasi ini. Ternyata ada hal yang kulupakan. Sungguh adik laki-lakinya tentu telah mengalami pengalaman hidup yang kelak berbeda. Mata rantai itu telah putus yaitu adik laki-lakinya.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar