Gadis Berambut Punk (8)
Oleh: Hanifatul Hijriyati
“Sebetulnya dulu saya rutin bu nengok adik saya. Tapi sekarang saya sudah tidak diijinkan sama pak Samekto,” paparnya seraya menunjukkan wajah kecewanya.
“Kenapa?”
“Yah, biasa Bu, namanya juga merasa orang kaya. Kalau lihat ada orang miskin mau ke rumahnya sekedar nengok sodaranya udah merasa risih. Saya malah diusir, dicaci-caci,” jelasnya lagi.
“Dicaci gimana maksudnya? Lha kamu ke sana sendiri apa sama ibu atau bapakmu?”
“Ya sendiri Bu. Saya kan suka kangen juga sama adik saya. Tapi memang dia kasih syarat sama saya jika jenguk adik saya, saya nggak boleh ngaku sebagai kakaknya. Itu sudah saya turuti. Eh tapi malah balasannya kayak gitu,” ingsutnya.
Aku tidak memiliki informasi banyak mengenai pak Samekto. Aku hanya tahu bahwa ia adalah sosok yang cukup dikenal. Sebagai anggota DPR partai penguasa daerah tentu bukan hal aneh jika dikenal begitu luas. Selebihnya mengenai informasi lain hanya kudengar dari berbagai cerita rekan kerja. Aku tidak mendapat informasi yang negatif mengenai beliau.
Kepingan informasi tentangnya seperti puzzle yang membuatku selalu siap untuk menyusunnya. Aku masih belum tahu, untuk apa semua ini. Namun bagiku menjalankan tugas sebagai wali kelas lebih dari sebuah tanggung jawab yang juga menuntutku agar aku mampu membimbing setiap peserta didik memilih jalan yang baik. Bukankah itu tugas seorang pendidik?
Kritik yang terus kucoba untuk rumuskan terkadang melarut dengan sebuah kenyataan yang tak mampu kupingkiri justru menghancurkan dan meluruhkan semua yang kupahami dari awal.
Sebuah idealisme pendidikan yang didengungkan oleh pencetus kebijakan hingga para filsuf ternyata berbenturan dengan kenyataan kulihat sendiri nyata di depan mata.
Rongrongan masyarakat hingga anggapan banyak orang bahwa setiap pelajar yang bersekolah itu pastilah memiliki etika, perilaku sosial hingga tanggung jawab diri yang lebih baik daripada yang tidak sekolah telah merenggut setiap pemikiran bahkan semenjak aku masih bersekolah dasar.
Aku mulai meragukan itu semua. Apakah betul institusi pendidikan saja telah cukup mampu menahan gelombang perubahan perilaku sosial? Atau jangan-jangan justru hanya memberi perangkap pada sebuah idealisme yang kelihatan murni tapi tidak memberikan kontribusi apa-apa.
Kemiskinan selalu saja dianggap nasib sial bagi siapapun untuk memperoleh akses pengetahuan. Hanya saja, saat ini kemudahan untuk masuk pendidikan formal dengan biaya murah bahkan sudah digratiskan menjadikan institusi pendidikan bukanlah lagi dimiliki oleh kelompok masyarakat dengan level sosial menengah.
Institusi pendidikan telah membaurkan kelas sosial masyarakat. Perubahan pola perilaku karena cepatnya teknologi hingga arus informasi yang kadang membuat kita tergagap telah meruntuhkan anggapan bahwa instiusi pendidikan adalah komunitas berkelas.
Masyarakat seolah lupa bahwa tugas mendidik tidak semata-mata hanya dimiliki oleh lembaga formal dan lebih khususnya lagi guru. Orang tua sekarang seperti mudah lepas tangan karena menganggap anak-anak mereka cukup baik karena masuk dalam institusi formal.
Kemiskinan pengetahuan dan moral tidak lebih adalah perpaduan lengkap antara kemiskinan struktural dan kultural. Ketika anak kembali ke rumah, orang tua seperti tak memiliki beban membiarkan mereka keluyuran atau bahkan berlama-lama menonton video karena mereka beranggapan bahwa moral dan etika sudah diajarkan di sekolah.
Kembali pada Elisa. Kenekatannya untuk pergi ke Jakarta adalah sebuah catatan penting bagiku bahwa ia bisa jadi memiliki pemikiran yang lebih berbahaya dari yang kuduga. Aku terus memantaunya. Kuharap masih ada setetes harapan dan secuil ruang di otaknya agar tidak ikut konslet.
Berbagai kegiatan ekstra dari pramuka hingga yang sifatnya sekunder yang ia ikuti mendorongku untuk memasang mata-mata. Ada beberapa informan terpercaya yang telah kuminta untuk selalu memberikan informasi terbaru tentangnya. Hingga suatu hari.
“Bu, Elisa itu pacaran lho Bu di sekitar daerah Sangiran. Minggu lalu kan kami ada survey untuk kegiatan pramuka dan kemah. Karena Angga masuk anggota dewan, dia ikut bu. Tapi sampai hampir mau Maghrib dia nggak pulang Bu. Ternyata dia pacaran sama Elisa. Angga kelas XII IPS,” cerita Via, salah satu informanku.
“Lalu kamu tahu mereka berdua ngapain? Dan pulang jam berapa?,” tanyaku mulai was-was.
“Yah gitu lah Bu”
Via memaparkan dengan detail apa saja yang mereka lakukan di tempat yang terkenal sepi dan senyap itu. Tempat yang dikenal sebagai areal situs purbakala itu memang memasuki wilayah pedesaan yang gersang danpanas. Memasuki pukul empat sore, wilayah itu sudah terlihat sepi hanya tampak beberapa remaja tanggung yang sengaja datang untuk sekedar nongkrong atau pacaran.
“Saya sudah tegur dan nasehati Bu tapi ya tetep ngeyel”
“Kamu lapor ke pembina kalau perlu ke waka. Kegiatannya kan sudah di luar kegiatan pramuka,” perintahku.
Via mengangguk.
“Kamu tidak usah takut yang kamu laporkan itu kakak kelas. Yang kayak begini sudah nggak benar. Paham to?,” aku mencoba meyakinkan Via setelah kulihat ada sedikit keraguan di wajahnya.
Esoknya aku memanggil Elisa.
“Kamu pacaran sama Angga di Sangiran hari Minggu to? Kamu tahu nggak itu menyalahi aturan?”
Ia masih bisa tersenyum padaku. Aku mulai yakin otaknya makin tidak beres. Aku tahu persis seperti apa Angga karena aku juga mengajar kelasnya selama dua tahun. Aku yakin tidak mungkin ia bersedia menjadi pacar Angga tanpa Angga memberi sesuatu padanya.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar