Gadis Berambut Punk (9)


Oleh: Hanifatul Hijriyati

 Angga bukanlah berasal dari kalangan keluarga biasa-biasa.  Sebagai anak tunggal dari kedua orang tua yang kaya membuat Angga menjadi anak yang suka menyepelekan. Barang yang ia pakai semua  bermerk hingga laptop yang sering ia bawa ke sekolah. Begitu juga sepeda motor miliknya yang seharga sekitar lima puluh juta. 

Secara akademis Elisa bisa jauh lebih baik di atas Angga. Kemudahan-kemudahan hidup yang dimiliki Angga sering membuat tingkah anak ini tidak menghormati guru bahkan cenderung menyepelekan. Ayahnya seorang pebisnis yang memiliki kekayaan banyak berupa tanah hingga rumah. 

Pamannya seorang lurah desa sebelah. Setahun sebelumnya Angga dikeluarkan dari keanggotaan keamanan siswa sekolah karena melanggar tata tertib dan disiplin. Namun terlepas sikap dan perilakunya,  Angga adalah anak orang kaya yang dimanjakan oleh harta. Kondisi semacam ini tentu adalah keuntungan bagi Elisa. 

“Saya tahu lah Bu. Tapi mas Angga yang minta”, jelasnya tanpa merasa bersalah.

“Memangnya dia kasih kamu apa sampai kamu mau sama dia?”

“Apa ya Bu? Ya yang namanya kita sama-sama suka sih Bu,” paparnya seraya tersenyum. Aku tetap meyakini bahwa ia memperoleh lebih dari sekedar perhatiannya. 

“Mungkin karena dia anak orang kaya ya Sa?,” selorohku langsung.

Ia hanya tersenyum. “Ah Ibu tahu aja. Tapi bapaknya juga nggakpapa kok bu kalau mas Angga pacaran sama saya,” tambahnya. 

Kesimpulanku di antara mereka berdua sama-sama memperoleh keuntungan. Siapa sih yang tida suka pada Elisa? Ia manis, pintar dan cukup supel bergaul. 

 Setelah upaya pelaporan, beberapa hari kemudian Angga dikeluarkan dari keanggotaan dewan ambalan. Namun itu tetap tidak mempengaruhi apapun selama Elisa tetap menjadi pacarnya. Dan aku menemukan Elisa membawa laptop ke sekolah. Aku yakin itu bukan laptop miliknya.

“Laptop siapa Sa?,” tanyaku.

“Mas Angga Bu,” jawabnya santai.

 Aku mulai mendapatkan kesimpulan tak terbantahkan.

“Kamu pinjam?”

“Yhaa gimana ya bu. Dia itu dibelikan laptop baru sama bapaknya katanya sih laptop yang ini buat saya aja."

“Lalu kamu mau?”

“Mau lah Bu. Mas Angga juga sering ngasih uang ke saya”

“Berapa?”

Ia menunjukkanku sejumlah uang kertas yang nilainya cukup untuk dibuat jajan beberapa hari untuk ukuran anak SMA. Penilaianku sedikit demi sedikit berubah tentang Elisa.

 Semangat dan gelora yang kutangkap dari awal telah menguap dan merubah wujudnya menajdi semangat oportunis di atas perlawanan dari egonya sendiri. Gadis itu bisa menyimpan kekuatan yang tidak terduga. Ia begitu cepat merapal teori, memahami konsep bahkan menganalisa soal logika. 

Namun konsep dan nilai-nilai normatif yang ia peroleh dari bangku kelas bisa menguap begitu saja. Aku bisa jadi salah, mungkin saja itu adalah perwujudan ilmu yang ia peroleh, bisa jadi itu cara bertahannya dalam melindungi egonya yang tak terkendali. 

“Kamu kasih apa Angga?”, tanyaku menelisik. 

“Ya kayak orang pacaran itu lah Bu,” ia tersenyum padaku.

Aku menelan ludah berkali-kali. Ada peluh tak terlihat di pelipisku. Sesungguhnya aku bisa menangkap jawaban yang akan ia berikan padaku. Soal memastikan jawaban itu lebih untuk semakin meyakinkanku. Ia bisa bertindak lebih dari itu.  

Aku memikirkan langkah berikutnya.  Hingga suatu saat ia mengatakan padaku sudah tidak tinggal lagi di rumah simbahnya. Ia memilih tinggal di kost dari uang yang dikirim oleh ibunya. 

Bersambung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat