Anak Tidak Bisa Diatur
Oleh: Ahmad Sofyan Hadi
Sudah sering saya menerima pengaduan ibu yang anaknya tidak bisa diatur, tidak disiplin, atau bahkan melawan.
Dalam menerima pengaduan itu, saya tidak langsung menelan mentah-mentah seluruh aduan ibunya. Melainkan mengecek tanda tangan ibu bapaknya atau bahkan anaknya bila sudah bisa.
Dari sekian banyak kasus yang pernah saya tangani, rata-rata sebab ketidakpatuhan anak adalah dia sudah semakin besar tapi tetap saja mendapatkan tekanan.
Secara fisik anak semakin besar, besar tubuhnya semakin sama besar dengan tubuh kedua orang tuanya. Jadi kemampuan membela diri semakin besar pula.
Lalu saat anak dipaksa, ditekan, atau diancam, dulu masih patuh dan nurut sebab fisiknya masih kecil. Masih "tahu diri" bahwa dirinya lemah dan bisa disakiti.
Jadi memilih patuh, patuh dengan terpaksa.
Tapi saat tubuhnya semakin besar, ia tidak hanya semakin mandiri, tapi juga semakin mampu melindungi dirinya sendiri.
Anak punya pilihan mana yang layak dia ikuti dan mana yang tidak layak diikuti. Anak semakin memiliki kuasa menentukan pilihannya.
Saat orang tua menasihati, anak tidak patuh. Sebab bukan pola itu yang biasa diterima anak. Sejak kecil, anak tidak dirangsang pola pikirnya, tapi diperbesar rasa takutnya.
Maka saat anak semakin besar, ketakutannya berkurang, kapasitas otaknya bertambah. Tapi sekali lagi, orang tua tidak terbiasa mengisi logika anak dengan dialog.
Jadinya saat dewasa ia dinasehati, logika anak menolak. Logika anak justru terbentuk dengan pola kuat lemah, yang kuat menang, yang lemah kalah.
Makanya anak ngotot - ngototan dengan orang tua. Sebab pola itu juga yang ia terima sejak kecil. Anak tidak patuh bukan diajak bicara, tapi dipaksa dan diancam.
Jadi ketika orang tua mengadu anaknya tidak patuh, saya merasa perlu melakukan terapi ke orang tuanya. Bukan ke anak.
Sebab anak ibarat ikan lalu sikap orang tua adalah air dalam akuariumnya. Ikan sakit pertanda airnya mesti diganti.
Sepanjang sikap orang tua tidak berubah, masih mengedepankan ancaman dan tekanan, saya tidak yakin terapi kepada anak bakal berhasil.
Ini seperti menuntut anak ketika salah untuk terbiasa meminta maaf, tapi orang tua tak mau mengakui kesalahan. Jadi tidak ada teladan orang tua ke anak, selain sikap arogan.
Tentu saja, saya bicara anak yang usianya belum baligh.
Tulisan ini bukanlah untuk menghakimi orang tua yang merasa anaknya tidak bisa diatur, melainkan agar melihat masalah anak secara luas.
Perbaiki emosi orang tua, termasuk trauma yang dipendam. Agar saat menangani anak bisa jauh lebih sabar dan pengertian.
Menuntut anak yang masih kecil memahami pikiran orang tua jelas salah, sebab anak belum pernah menjadi orang tua sedangkan sedangkan orang tua pernah menjadi anak.
Jadi orang tua yang masih menuntut anaknya untuk paham jalan pikirannya, artinya ada emosi negatif yang dipendam orang tua, ada trauma yang ia simpan.
Mesti diterapi.
Depok, 1 Januari 2020
Komentar
Posting Komentar