Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2020

Mencari Padanan "New Normal" dalam Bahasa Indonesia

Oleh: Willy Pramudya Melihat begitu malas, 'njaksel', dan keminggris-nya (keinggris-inggrisan) para pejabat, orang-orang berpengaruh dan media massa (pers!) mencari padanan dalam bahasa Indonesia untuk istilah "new normal", saya tergerak untuk mencarinya.   Langkah pertama yang saya lakukan adalah memahami frasa "new normal" sebagai frasa bahasa Inggris terlebih dulu lalu memikirkan padanan yang paling mendekati dalam bahasa Indonesia. Saya menemukan frasa 'kenormalan baru' sebagai padanannya namun masih terasa sebagai hasil terjemahan langsung dan harfiah dengan sedikit perubahan. (Menurut rekan saya, Kang Tendy,  Badan Bahasa telah menerjemahkan istilah tersebut menjadi "kenormalan baru" (Tksh Kang Tendy). Langkah kedua adalah mencari padanan kata 'normal'. Kata 'normal' tergolong kata sifat atau adjektiva (A). Dalam bahasa Inggris kata "normal' selain tergolong A juga N. Saya melihat tiga kemungkinan kelompo...

Bahaya Game Online Bagi Anak

Oleh: Anggie D. Widowati (Psikolog Anak) Sudah sering kita mendengar orang tua mengeluh nilai sekolah anak turun lalu menyalahkan game. Apakah sekedar menyalahkan itu salah? Enggak juga sih, tetapi sebenarnya game (online) tidak sekedar membuat nilai sekolah turun. Game (online) memiliki sifat addict/kecanduan. Ini yang membuat anak menjadi tidak fokus pada pelajaran, dan lebih tertarik untuk memainkannya, tinimbang belajar. Itu satu, efek yang lain, anak menjadi tidak memiliki rasa empati pada lingkungan sekitar, cenderung cuek dan bisa berakibat gagap sosial. Anak tidak memiliki kemampuan lain yg bisa diasah, misalnya kemampuan melukis, olah raga, dan yg lainnya, karena ortu tidak peduli. Ortu lebih suka membelikan HP bagus, dibandingkan seperangkat alat lukis misalnya. Agar dia bisa kekinian seperti temennya yg lain. Kemudian, anak juga kurang bisa membawa diri dalam pergaulan, karena menghabiskan waktu untuk main game dan tidak melakukan komunikasi secara sehat dengan lingkun...

Akar Sosiologis Mudik Lebaran

Oleh: Maman S Mahayana CATATAN: Esai ini pernah dimuat Harian Kompas, 2 September 2011 (dimuat juga dalam buku Bermain Esai, Jakarta:Tarebooks, 2018, hlm 135—138). Ketika itu manajemen PT Kereta Api Indonesia (KAI) masih semrawut. Rel ganda Jakarta-Surabaya belum dibangun. Begitu juga jalan tol di Pulau Jawa, baru sampai Cirebon. Jadi, problem mudik dalam tulisan ini sudah kurang relevan lagi. Meskipun demikian, konsep mudik di Indonesia berakar pada problem sosiologis hubungan kota—desa, dan tidak berkaitan dengan tradisi, sistem kepercayaan, dan mitos, sebagaimana yang dilakukan masyarakat China dan Korea.  Tulisan ini hanya menyoroti perkara mudik. Jadi, tidak ada kaitannya dengan virus Corono. Semoga (masih) ada manfaatnya. Selamat membaca! *** Mengapa mudik menjelang Iedul Fitri (Lebaran) selalu memunculkan masalah? Lebaran sebagai simbol capaian kemenangan spiritual, berubah menjadi kelelahan fisik karena mudik dilakukan dengan ketidaknyamanan. Begitu pentingkah mudik me...