Kebun Belakang Rumah | Novelet
Oleh: Anggie D. Widowati
(1)
Mimpi-mimpi tak seindah kenyataan. Dan penghancur mimpi itu kadangkala sesuatu yang tak pernah diduga sebelumnya.
Itu pula yang dialami Bagas Waras. Belum juga setahun dia selesaikan kuliahnya di institut seni jurusan perfilman. Belum juga dua bulan bekerja sebagai cameramen di sebuah rumah produksi, dia sudah dirumahkan.
Bukan hanya dirinya, hampir semua kru tidak bekerja lagi karena produksi sinetron untuk sementara dihentikan dengan alasan pandemi covid19.
Dia menyukai pekerjaan itu, meskipun hanya pekerja rendahan, Bagas merasa punya banyak kesempatan untuk belajar. Dan produksi sinetron adalah paling bisa diharapkan di Indonesia ini.
Namun semua kandas. Tidak ada harapan dan kepastian kapan bisa mulai bekerja lagi. Sekarang hanya duduk di rumah kos tidak melakukan apa-apa. Mencoba mencari peruntungan dengan menghubungi beberapa teman, tetapi tidak berhasil. Hampir semua mengalami hal serupa, kehilangan pekerjaan.
"Yana kasih info loker ya, kalau ada," katanya pada teman sekampusnya dulu.
"Sama aku juga nyari," jawab Yana di WA.
Bagas mulai kehabisan bekal. Tabungan tak ada. Hanya tinggal sepeda motor tua yang mengkrak di garasi kos itu yang dia punya. Tidak boleh dijual, itu harta kekayaan yang dibelikan bapak sebelum berangkat ke Jakarta.
Tiba-tiba dia teringat ibunya yang ada di kampung. Kalau situasi tidak berubah, pekerjaan sulit didapat, terpaksa dia pulang kampung. Tetapi saat ini dilarang pulang kampung. Kalau pun boleh harus dikarantina.
Namun cuma itu harapannya. Di kosan, siapa yang akan kasih makan. Kalau di kampung dia bisa membantu ibunya mengurus kebun, dan mungkin sejenak bisa melupakan mimpinya membuat film.
Setelah berfikir masak-masak, Bagas ngepak barang-barang tak seberapa yang dimilikinya. Surat-surat penting juga dibawa. Dengan sepeda motor dia berniat pulang ke kampung. Konon jalan-jalan dijaga.
Dengan petunjuk google map, Bagas mencari jalan-jalan yang sekiranya tidak ada petugas, biar tidak ribet. Seharian berkendara, tibalah di kampung. Ibunya senang bukan kepalang.
"Aku pulang sementara, aku kehilangan pekerjaan bu," katanya.
"Nanti balik ke Jakarta lagi?"
"Iyaa bu, di sini sambil cari peluang."
Di rumah itu ibu tinggal dengan dua adik perempuannya yang masih remaja. Bapak sudah sakit-sakitan. Jujur, Bagas merasa hanya menambah beban saja. Dia pun bertekad segera kembali ke Jakarta setelah mendapatkan pekerjaan.
Selama 14 hari Bagas tidak boleh keluar rumah. Namanya sudah tercatat di lingkungan RT sebagai pemudik. Puskesmas sudah memberikan surat keterangan sehat, namun dia tetap harus dikarantina.
Rumah joglo mereka berada di ujung desa. Sebelah kiri sejauh mata memandang hanyalah sawah dan tegalan. Belakang rumah, kebun luas dengan beraneka macam tanaman. Juga sebelah kanan rumah, semua kebun. Tetangga terdekat 500 meter dari rumah itu.
Pagi-pagi ibu dan dua adiknya sudah ke kebun. Ratna dan Ratri membantu ibu karena untuk sementara mereka belajar di rumah. Bagas malas ikut dengan mereka. Dia lebih suka mengopi dan merokok di beranda rumah kayu itu.
Sosial media lumayan ramai dan bisa buat hiburan. Ibunya mengajaknya ke kebun, tetapi laki-laki itu menjawab dengan enggan. Sebagai orang kota dia malas berurusan dengan kebun dan sawah.
Hari kedua di rumah, ibu membuat pecel dan rempeyek kacang. Makan siang yang luar biasa nikmat, karena jujur pecel yang seperti itu tak ditemukan di Jakarta. Ibu membuat sambal pecel sendiri, dari kacang yang dipanen dari kebun sendiri dan sayuran dipetik sendiri.
Bagas memoto makanan yang terhidang di meja kayu itu, lalu dia posting di instagramnya. Setelah selesai baru dia makan. Ibunya duduk didepannya dengan tersenyum.
"Bersyukurlah kita masih punya kebun."
Bagas tak menanggapi.
Esoknga ibunya memasak sayur lodeh dari sayuran kebun. Lauknya ikan asin. Bagas pun memoto semua hidangan itu dan memosting di instagramnya. Begitu pula beberapa hari berikutnya.
"Bu, ibu menanam semua sayuran itu di kebun?"
"Iya," jawab ibu.
"Tidak ada yang membeli di pasar?"
"Tidak, Ratri dan Ratna sedang membibit bayam, untung saja sungai dekat kebun tidak pernah kering."
"Sungai itu masih ada."
"Emang sungai bisa pindah Kak?" tanya Ratri menggoda kakaknya.
Ratna cekikikan mendengar komentar adiknya. Bagas meringis. Sungai itu tempat dia dan adik-adiknya bermain. Terutama bila bapak sedang bekerja di kebun. Sudah lama sekali dia tak ke kebun. Tiap pulang kampung, dia sibuk reuni atau jalan-jalan lalu nongkrong di kota.
Esoknya dengan masih menenteng telepon genggam, Bagas ke kebun. Ibunya dan dua adiknya sudah lebih dulu di sana. Mereka berdua tidak ada pilihan selain membantu ibu bekerja di kebun. Karena tak bisa kemana-mana.
Ada jalan berbatu, disitulah dulu dia belajar sepeda. Pada sisi kanan dan kiri ditanami pohon singkong yang pohonnya sudah mulai tinggi. Di bawah pohon-pohon singkong itu ditanam ubi dan tanaman bumbu seperti serai, laos, jahe, pandan dan semacamnya. Itu sudah sejak lama sekali.
Pada sisi berikutnya ada tanaman wortel, kol dan kacang panjang yang dililitkan pada bambu yang dibentuk segitiga. Suasana itu mulai membangkitkan kenangannya. Dia sudah melihat sungai dengan pohon-pohon pisang bergerumbul di sekitarnya.
Ibu dan adiknya ada di sekitar itu, apa yang mereka lakukan? Ibu terlihat memegang sabit, berdiri di antara gerumul pohon pisang itu. Di sampingnya ada setandan pisang yang sudah dipetik. Dia pun melambaikan tangan pada Bagas.
"Angkat ke rumah," kata ibu.
"Waduh, besarnya," ucapnya mengeluh.
"Ayo angkat anak kota," seloroh Ratna.
"Difoto dulu, bagus buat konten," kata Bagas.
Dia berjalan ke arah ibunya dan memotret pisang yang pada ujung atasnya mulai masak. Dua adiknya tertawa geli melihat abangnya.
"Kalian manusia kebun, aku foto juga yaa."
Dua kakak beradik yang sedang berjongkok mencabuti rumput di kebun bayam itu mengajukan dua jarinya ke arah Bagas, "pis," ujar mereka.
"Ini pisang apa Bu?" tanya Bagas waktu mau posting foto.
"Pisang kepok, nanti ibu goreng, tuh yang paling atas udah matang."
"Siap bu," kata Bagas.
"Sana bawa ke dapur."
"Waduh berat."
"Bantuin kakakmu Na," perintah ibu pada Ratna.
Gadis itu berdiri dan membantu kakaknya mengangkat pisang.
(2)
Bagas bersibuk membuat kopi sore itu. Ibu terlihat duduk si depan perapian dengan memegang spatula. Di sisi kirinya ada baskom berisikan adonan pisang goreng. Dia menoleh pada Bagas yang terlihat masih belum menyatu dengan rumah.
Iya, dia rindu Jakarta. Rindu hiruk pikuknya, rindu mal-mal megahnya, rindu kedai dan kafe yang membanjir dimana-mana, bahkan dia juga rindu macetnya.
"Ini bawa pisangnya," kata ibu menyodorkan piring kaleng jadul berisi beberapa potong pisang.
"Ambilkan Bapak beberapa potong di lepek kecil yaa," tambah ibu.
"Iyaa bu," Bagas memasukkan telepon genggamnya di saku. Lalu membawa piring dan gelas kopinya di teras depan.
Bapak duduk di situ mengobrol dengan dua adiknya. Bapak tidak ke sawah lagi setelah dua kakinya berat untuk melangkah. Dia diam di rumah saja, dan pekerjaan di sawah digantikan oleh buruh.
Mereka masih memiliki beberapa hektar sawah yang dikelola para buruh. Dulu bapak mengerjakan sendiri. Tidak heran bila kulitnya hitam tersengat matahari. Namun dari sawah itulah kedua orang tuanya bisa menyekolahkan mereka bertiga.
Bagas memang ingin sekolah di perfilman, karena itu dia memilih IKJ. Dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Selama kuliah dia sudah bekerja serabutan di rumah produksi. Dan semakin hanyutklah dia dengan dunia itu.
"Sinetron bikinan kakak dah habis episodenya ya?" tanya Ratri.
"Kamu nonton?"
"Nontonlah."
"Nanti lanjut lagi, entah kapan, semoga kakak dipanggil kerja lagi."
"Istirahat dululah di desa, nanti kalau sudah nggak ada corona mulai lagi."
"Ratingnya sudah tergeser sama drama korea, jadi permintaan untuk sinetron berkurang."
"Beberapa televisi tayangin sinetron lama."
Bagas menyimak dua adiknya. Bapak duduk tenang mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Ibu datang membawa piring baru berisi pisang goreng. Kebetulan sekali karena pisang goreng yang pertama sudah habis.
Saat wanita itu berjalan ke arah mereka, Bagas baru mengawasi wajah ibunya. Tenang, bahagia dan kokoh. Perempuan itu tiap hari ke kebun. Memetik sayuran kemudian memasaknya. Jadi sepertinya dampak ekonomi tidak berpengaruh di rumah ini.
"Sayuran kita tidak dijual Bu?" tanyanya.
"Tidak pernah, nggak usah, kita hanya menjual hasil sawah."
"Tapi cabe kemarin diambil tukang sayur Bu," kata Ratri.
"Mbok Jinan kehabisan cabe, jadi ibu suruh kamu petik dan anterin ke warungnya."
"Lagian cabe banyak banget, kalau tidak dijual bisa busuk," Ratna menimpali.
Ada lumbung di belakang rumah. Di depan lumbung itu ada halaman yang sudah diplester untuk menjemur padi. Benar-benar rumah petani. Mereka adalah pahlawan-pahlawan pangan, yang tak pernah digubris siapa pun, pikir Bagas.
Tiap tahun sawah panen dua kali. Bapak biasanya seminggu sekali menengok sawah diantar oleh buruh dengan sepeda motor. Tubuhnya lemah, meskipun semangatnya menyala-nyala.
"Sebelum ada korona, tidak ada sayuran yang dijual, sekarang jual sayuran apa saja pasti laku," kata Ratna.
"Ada tengkulak yang datang, tapi ibu tak mau, dia hanya menjual langsung ke tukang sayur, yang dikenalnya," tambah Ratri.
"Kita punya beras di gudang, dan sayuran di kebun, ikan ambil saja di empang dan ayam ada banyak di kandang, tak perlu ke pasar."
Bagas tahu, kalau hanya untuk makan, dia tak akan membebani orang tua. Pulang kampung adalah jawaban yang tepat untuk situasi saat ini. Dia masih bisa melihat perekembangan dunia melalui sosmed.
"Kalau sehat Bapak juga suka kerja," kata Bapak yang sejak tadi hanya menyimak.
Semua menoleh pada lelaki itu.
"Jangan malu jadi petani," tambahnya.
Semua diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Orang Jakarta kelimpungan kehilangan pekerjaan, tidak bisa keluyuran, hanya bisa diam di rumah saja. Mereka sudah mengeluh seakan mau kiamat, mengutuki korona. Sementara kedua orang tuanya begitu tenang setiap hari mengandalkan kebun dan sawah untuk makan.
"Jakarta ekonomi macet," Bagas mengutarakan pendapat.
"Banyak yang kehilangan kerjaan ya kak?" tanya Ratri.
"Banyak banget, termasuk kakakmu ini," kata Bagas.
Semua tertawa.
"Kalau situasi seperti ini, bisa makan saja sudah cukup," kata Bapak.
"Itulah untungnya kita orang desa punya sawah, punya ladang," tambah ibu.
"Jangan lupa kesehatan," ujar Bapak.
"Nanti kalau sehat, Bapak bisa kerja lagi," kata si cerewet Ratri menyemangati Bapak.
"Kamu benar, Tri."
"Harusnya alat pertanian sudah lebih modern," usul Bagas.
"Cukuplah seperti sekarang, kalau diganti alat modern buruh-buruh tani itu akan kehilangan kerjaan," kata Bapak.
"Iyaa sih."
"Ibu bikinin teh lagi yaa."
Semua setuju, ibu masuk ke rumah dan keluar dengan satu teko teh hangat. Bagas melihat kopinya masih setengah lagi. Diambilnya, diseruputnya pelan-pelan.
(3)
Selama seminggu di rumah, Bagas tak pernah melihat adik-adiknya mainan henpon. Setahunya, setiap orang, terutama abg selalu mainan henpon. Jangan bilang kalau mereka tak punya. Ayah sangat mampu membelikan mereka henpon. Kondisi itu membuat pikirannya bertanya-tanya.
Pagi hari mereka membersihkan rumah, salah satunya membantu ibu menyiapkan sarapan. Siang sedikit mereka ke kebun sampai zuhur. Makan siang, tidur siang lalu mengobrol di teras depan.
Mereka tidak sibuk, tetapi mengapa mereka tidak mainan henpon?
"Punya dong, males isinya penugasan sekolah mulu."
"Lah trus ngerjainnya?"
"Malamlah kak, sebelum tidur."
Ratna kelas dua SMA, Ratri adiknya kelas satu. Mereka berdua cuma selisih setahun, sementara Ratna dan Bagas selisih hampir delapan tahun.
Ratna memiliki paras cantik, kulitnya terang, wajahnya mirip bapak. Sifat-sifatnya pun seperti bapak, diam, tenang dan pemikir. Sedangkan adiknya lebih mirip ibu. Kulitnya hitam manis dan cerewet. Ratri ini ngocol dan suka bercanda.
Mendengar obrolan kami, Ratna masuk ke rumah dan kembali dengan menunjukkan telepon genggamnya.
"Punya Ratri juga seperti ini, Bapak beli dua," kata Ratna.
Bapak menoleh ke arah mereka.
Bagas memegang android itu, dan membolak-balikkan benda itu.
"Bagus buatan Jepang, awet ini."
"Kalau siang aku dan kak Ratna milih ke kebun, bantuin ibu. Kami berdua nanam pohon-pohon instan. Kak Ratna punya ayam, sawi dan kangkung instan. Sementara aku punya pohon paprika dan stoberi. Awalnya coba-coba dari yutub, lama-lama kok asik. Nanti aku dan kakak mau jual, nggak usah bilang ibu," ujar Ratri.
"Kalau malem baru kami lihat PR dan dikerjakan," tambah Ratna.
Ratna mengambil henponnya dari bagas, lalu dia membuka galeri foto.
"Lihat nih kak, tanaman kami..."
Layar henpon itu menampilkan foto-foto sayuran dari kebun instan itu. Ketika mengambil pisang, Bagas tidak memperhatikan bahwa lahan untuk tanaman sayuran itu lahan yang sudah dimodofikasi menjadi lahan modern.
"Wah bagus, kenapa kau tak jual hasilnya, itu kan laku, itu jenis sayuran yang disukai orang."
"Takut sama ibu," Ratna melirik Bapak yang rupanya menyimak mereka.
"Bapak jangan bilang ibu ya," kata Ratri pada Bapak.
Laki-laki itu itu hanya tersenyum, lalu menoleh ke hamparan sawah lagi.
"Harusnya divideoin, trus diiklankan di medsos," tambah Ratri lagi.
"Kamu bener, kamu harus videoin semua tanamanmu," ujar Bagas girang.
"Tapi ibu," keluh Ratna.
"Aku yang akan hadapi ibu, besok kita mulai kerja."
Dua remaja itu saling pandang dan terbengong.
(4)
Bagas bangun pagi dan mengeluarkan kamera dari tasnya. Sudah berapa lama dia tak memegang dan menggunakan benda itu. Kali ini mereka akan kembali bersama.
Pemuda itu, mengisi baterai kamera dan meninggalkannya di kamar lalu melangkah keluar. Langit masih gelap. Udara dingin menyeruak ketika dia membuka pintu belakang.
Angin pagi perlahan namun dingin. Masih ada sisa-sisa suara binatang malam dari berbagai sudut. Embun sudah turun, tetapi matahari belum beranjak dari tidurnya.
Bagas mengambil sapu, lalu mulailah dia menyapu jalan setapak menuju kebun. Beberapa rumput dicabut dan dimasukkan ke tong sampah. Juga perdu-perdu liar yang tumbuh bebas di pinggir sungai irigasi kecil itu. Bagas membabatnya sebagian agar telihat bersih dan indah.
Ketika langit mulai terang, dua adiknya berdiri di belakamgnya dengan wajah heran.
"Kak, ngelindur ya?" tanya Ratri.
"Eh kalian, ayo siap-siap."
"Siap-siap apa kak?" Ratna bertanya heran.
"Siap-siap bekerjalah."
Keduanya berpandangan, bertambah heran.
"Woi bocah, kalian pakai baju yang santai, pakai sepatu boot plastik kalian, dan segera bekerja."
"Maksud kakak?"
"Kalian ke kebun kalian seperti biasa, aku yang membuat videonya."
"Jualan online kan yang penting tanamannya, kenapa kami ikut-ikutan divideoin?"
"Udahlah, ngikut aja, segera ganti daster kalian."
Dua remaja iti masuk rumah. Bagas mengamati sekeliling. Langit makin biru, dan pepohonan mulai memantulkan cahaya matahari pagi. Rumput-rumput bermahkotakan embun. Dia segera mengambil kameranya.
Dua gadis remaja mengenakan kaos santai dan celana panjang. Mereka berdiri di antara tanaman sayuran mereka, dan masih terlihat bingung. Bagas datang dengan kameranya di pundak.
"Siap para artis?"
Dua gadis itu berpandangan. Lalu Bagas menjelaskan adegan per adegan yang akan diperankan oleh mereka. Video itu diakhiri ketika keduanya mengangkut sekeranjang sayuran ke dapur.
"Kenapa ke dapur? Kan mau dijual?" tanya Ratna.
"Udah ikutin aja arahan kakak," jawab Bagas.
Langkah-langkah ringan para remaja itu begitu alamian. Ratri sesekali melakukan gerakan iseng, tanpa dikomando. Itu makin menguatkan karakter dua kakak adik itu berbeda.
Ibu menyambut mereka di dapur. Ibu tidak tahu apa yang tiga kakak adik ini lakukan. Dia lengsung mengiris-iris sayuran untuk persiapan makan siang. Bagas memberikan isyarat agar dua adiknya menyingkir dari pandangnya. Dan dia mulai memideokan ibu yang sedang memasak.
Pengambilan gambar itu berakhir ketika sayuran berada di meja makan. Kali ini Bagas mengingat bagaimana para make up artis itu bekerja. Dua adiknya sudah ganti kostum dan dia mulai memoleskan bedak pada wajah mereka. Lalu memberi mereka riasan sedikit.
Acara makan siang dua gadis manis itu menjadi penutup video itu. Ketiganya saling berpandangan. Bagas mengacungkan jempol pada mereka.
(5)
Sampai jam mengobrol sore hari, Bagas belum keluar kamar. Ratna dan Ratri mendatangi kamar kakaknya dan mengetuk pintu.
"Kak, bangun, udah sore, ibu bikin singkong goreng," teriak Ratri.
Pintu dibuka. Wajah Bagas tetlihat suntuk dan kelelahan.
"Bangun tidur?" tanya Ratri.
Bagas menggeleng, "ayo ngopi dulu."
Ibu duduk dengan bapak. Sementara tiga bersaudara ini duduk terpisah di teras sisi yang lain. Singkong goreng terhidang diantara asap kopi dan teh hangat.
"Kakak pucat," kata Ratri.
"Capek ngedit aja. Besok beberapa adegan harus diulang," kata Bagas.
"Diulang?"
"Iyaa, sebagian sudah aku edit, ada beberapa adegan yang tidak nyambung."
"Itu udah semua divideoin kak, lagian kan cuma buat jualan online."
"He petani cilik, urusan tanaman urusan kamu berdua, urusan bikin film, akulah orangnya, ngerti," kata Bagas dengan nada penuh tekanan.
"Nggak bisa selesai sekali yaa."
"Aku bahkan pernah ngulang adegan sampai sepuluh kali," ujar Bagas.
Dua adiknya mengangguk-angguk.
"Bagaimana dengan ibu?"
"Beberapa adegan do dapur harus diulang, besok Ratri rayu ibu biar masak seperti masakan hari ini. Sebelum ibu masak, usahakan kalian beresin dapur, pasang pernah-pernik penambah suasana.
"Misalnya?"
"Ada beberapa paku buat gantungin barang-barang itu, besok kamu ganti dengan capingmu, itu," kata Bagas pada Ratna.
"Iya kak."
"Hari pertama kalian udah bagus. Emang ada adegan yang tidak bisa diedit, jadi harus diulang. Bikin film tidak boleh sembarangan dan buru-buru, karena diluar sana banyak penilai."
Ini adalah kopi yang ternikmat yang dinikmati Bagas selama pulang kampung. Kemarin-kemarin sudah hopeless tak tahu apa yang mesti diperbuat.
Kebun belakang rumah itu, begitu divideokan, terlihat sungguh berbeda dengan aslinya. Pagi hari cahayanya cukup bagus untuk mengambil gambar, tidak terlalu terang tidak gelap. Sebuah pekerjaan sedang dimulai.
Tayangan pertama di akun yutub, video itu tidak mendapatkan kliker. Dia menintruksikan dua adiknya untuk menyebarkan akun yutub itu ke media sosial.
"Ratri suaramu sepertinya cocok buat jadi narator," kata Bagas.
Sekarang Bagas membuat skenario-skenario pendek, untuk mengurangi perdebatan dengan adik-adiknya. Ratna yang bersemangat ingin berjualan online tidak mau berbantah lagi. Apa yang dikatakan kakaknya dia patuhi baik-baik.
"Kalau rating kita sudah bagus, kamu mau jualan online, gampang aja, sekarang prioritas untuk membuat video, bukan jualan online."
"Iya kak."
"Kapan-kapan kalian berdua mesti numbuk padi," katanya.
"Sawah dan kebun kita aja bisa menghasilkan banyak video, prinsipnya tetap di rumah saja."
Dua remaja itu berpandangan, wajahnya mulai cerah karena mulai mengerti keinginan kakaknya.
(6)
"Kebun Belakang Rumah Chanel, subscribe untuk melihat video selanjutnya."
Begitu Bagas memberikan nama untuk chanelnya. Benar saja idenya, setelah menghadirkan Ratri sebagai narator, chanel itu mulai dilirik orang.
Selanjutnya, Bagas memperkenalkan Ratna pada temannya yang di Jakarta untuk belajar bisnis online. Dia akan mengurus olshop itu. Nama olshopnya sama: Kebun Belakang Rumah, belanja dari rumah segala macam sayuran organik dengan harga terjangkau.
Bagas memasukkan nama olshop itu di bagian awal dan bagian akhir dari tayangan videonya. Bagas ingin Ratna fokus pada bisnisnya, sementara dia cukup dibantu oleh ibu dan Ratri sebagai narator sekaligus artisnya.
Chanel makin terkenal karena menampilkan kegiatan keluarga itu di kebun dan di sawah. Subscribernya betambah banyak. Apapun di sekitar rumah bisa menjadi konten. Membersihkan lumbung padi, memanen padi, sampai menggiling padi adalah hal yang biasa bagi anak-anak petani itu.
Uang dari iklan di yutub maupun hasil penjualan online meningkat. Bagas memperingtkan adik-adiknya agar tidak sombong, boros dan serakah. Mereka tetap membuat chanel itu sesederhana mungkin, natural, karena itu adalah kekuatan kontennya.
Sudah hampir dua bulan mereka mengelola chanel dan olshop mereka. Ibu dan bapak sudah tahu, mereka tak mau wajahnya ditampilkan karena malu, dia meminta tangannya saja yang di munculkan.
Beberapa selebriti ingin melakukan kerja sama, Bagas mengaku belum siap, karena rumah pertaniannya hanya rumah pertanian kecil. Produsernya di Jakarta juga mengontaknya lagi. Tapi Bagas sudah tidak berminat membuat sinetron. Dia terus fokus mengembangkan chanelnya dan ingin melangkah dengan santai bersama keluarganya.
"Bagas, aku ke kosan, dan kamarmu sudah ditempati orang lain," kata Yana suatu hari.
"Aku sudah mudik 2 bulan ini."
"Terlalu, kau tak kasih tahu aku, tak pernah posting apapun di sosmedmu, kecuali makanan. "
"Maaf, awalnya cuma kehabisan bekal saja."
"Yutubmu bagus."
"Iyaa, aku fokus kesitu."
"Sip."
"Sekarang sisa barang-barangku kemana?"
"Kata ibu kos di gudang, kalau sebulan tak diambil akan dikasihkan ke panti asuhan."
"Oke deh, nanti kalau sempat aku ambil, terima kasih, Yana, mainlah ke sini," jawabnya.
"Aku sudah mulai kerja di rumah produksi lagi."
"Mantap, semoga sukses, men."
"Makasih Gas."
Bagas tersenyum. Dia bahkan sudah diusir dari koskosan karena tidak bayar. Secangkir kopi menemaninya menikmati udara desa. Tak ada lagi yang membuatnya tergesa.
Jakarta 10 Juli 2020
Komentar
Posting Komentar