Antara Puisi Gelap dan Prosa Ungu | Sastra
Oleh: Hermawan Aksan
PADA 1980-an istilah “puisi gelap” mengemuka (lagi) ketika banyak ditemukan puisi yang sulit dipahami maknanya, misalnya karya-karya Afrizal Malna dan Kriapur. Dikutip dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, pensyair Abdul Hadi W.M. (1988) menyebutkan bahwa sajak-sajak Kriapur tidak menggunakan kata-kata klise, tapi tampak aneh dan gila. Ungkapan seperti “bulan pecah berantakan” dan “kupahat mayatku di dasar air” adalah majas dan lambang yang bersifat pribadi sehingga gelap maknanya.
Iwan Fridolin, dalam tulisannya yang berjudul “Impian dan Luka Sejarah” berpendapat bahwa secara umum puisi gelap dapat dikatakan sebagai puisi yang maknanya tersembunyi, sukar, atau tidak ada kemungkinan untuk dipahami. Ia mungkin menyajikan makna yang bertingkat-tingkat, keruwetan dan kerumitan pemikiran atau ketiadaan makna sama sekali. Hal ini biasanya ditandai oleh penggunaan gaya eliptik, metafora, alusi dan referensi yang muskil, bentuk tipografis, bahasa arkhaik atau berbunga-bunga, serta citraan atau simbol pribadi.
Jika dirunut, puisi gelap sudah ada sejak era kepenyairan Amir Hamzah pada 1930-an. Amir Hamzah banyak menggunakan majas, terutama metafora dan lambang yang sifatnya pribadi. Orang yang pertama kali menyebut istilah puisi gelap adalah Chairil Anwar dalam esainya berjudul “Hoppla” (dimuat dalam majalah Pembangoenan Tahun I Nomor 1, 10 Desember 1945).
Sajak-sajak Amir Hamzah yang amat terkenal dalam kumpulan sajak Nyanyi Sunyi banyak mengungkapkan majas yang bersifat pribadi. Chairil Anwar menulis, “Puisi Amir Hamzah dalam Nyanyi Sunyi ialah yang dinamakan ‘puisi gelap’ (duistere poezie). Maksudnya: kita tidak akan bisa mengerti Amir Hamzah jika membaca Nyanyi Sunyi sonder pengetahuan tentang sejarah dan agama karena kalimat-kalimat Amir di sini mengenai misal-misal serta perbandingan-perbandingan dari sejarah dan agama (ke-Islam-an) (Jassin, 1959)."
Chairil mencontohkan sajak “Padamu Jua” yang di dalamnya terdapat ungkapan-ungkapan seperti “kandil kemerlap”, “pelita jendela di malam gelap”, “rindu rupa rindu rasa”, “kata merangkai hati”, “Engkau cemburu, engkau ganas, mangsa aku dalam cakarmu, bertukar tangkap dengan lepas”, “Engkau pelik penarik angin bagai dara di balik tirai”. Ungkapan seperti itu, kata Chairil, merupakan lambang dan majas yang sifatnya pribadi, bukan umum. Hanya penyairnya yang dapat mengerti makna ungkapan tersebut.
Mirip dengan puisi gelap, prosa ungu, seperti dikutip dari tulisan Teng Siat Hwa, seorang anggota NAD, “adalah tulisan dalam prosa yang demikian berlebihan, norak, atau berbunga-bunga, sehingga berkesan mau menarik perhatian pembaca pada tulisan berbunga-bunga itu sendiri daripada alur cerita. Prosa ungu ditandai dengan banyaknya penggunaan kata sifat, kata keterangan, dan metafora. Apabila prosa ungu ini hanya ada pada beberapa bagian, istilahnya adalah tampalan ungu atau kalimat ungu, pokoknya lebih mencolok daripada keseluruhan tulisan.”
Menurut Siat Hwa, prosa ungu ini anehnya banyak dipakai padahal tidak berguna dan malah membingungkan. Bahkan seringkali penulisnya dianggap tidak percaya diri dengan hasil karyanya sehingga menggunakan kata-kata yang berlebihan. Selain itu banyak pula yang menyangka prosa ungu adalah puitis, padahal tidak. Prosa ungu bukan puitis dan begitu juga sebaliknya, puitis bukan berarti prosa ungu.
Ia mencontohkan, “Tatkala diri ini tertatap netranya yang terkilaukan laksana jutaan gemintang di lautan malam, segenap atma, sukma dan raga terintihkan tergeletar terbuaikan di arunika asmara lara.”
Saya pernah membaca alinea pembuka sebuah novel karya seorang penulis baru, “Ironi dari hantaran kisah ini dilewati oleh secercah hari yang terlihat tenang. Dimulai dari satu siang yang tidak terlampau terik, ketika sekelumit rutinitas harian dari sebuah kawasan marginal memintasi tepian Ufuk Timur dengan lancar....”
Sungguh, saya tidak memahami apa maksudnya dan, akibatnya, saya malas membaca alinea berikutnya.
Berusaha membuat warna-warni dalam tulisan tentu saja layak diapresiasi. Namun, jangan sampai terjebak dalam warna-warni yang berlebihan. Apa pun yang berlebihan tidak baik, bukan?
Ingat kata-kata Vety Vera, “Yang sedang-sedang saja.” []
Komentar
Posting Komentar