Bocah Botak di Depan Warung | Cerpen

Oleh: Elsaja

Pada siang hari yang terik dan warung Hindun hanya dikerubuni lalat, aku melihatnya berdiri di sana. Kepala botaknya mengkilap diterpa cahaya matahari yang menyengat. Punggung bajunya basah. Bulir-bulir keringat muncul di pori-pori kepalanya, lalu meleleh ke tengkuknya yang hitam.

Aku tidak tahu apa yang bocah itu telah kerjakan untuk menebus keberadaannya di depan warung Hindun. Apapun itu, pastilah sangat menguras tenaga. Dari belakang, aku bisa melihat kepala bocah itu menoleh ke kiri dan ke kanan dengan perlahan, seolah-olah sedang memindai barang apa saja yang disediakan untuknya.

Aku bisa melihat apa yang ia juga lihat. Di sebelah kirinya terdapat etalase, di atas etalase, roti-roti murah ditumpuk di sebuah wadah. Di sebelah kanan anak itu, terdapat meja kecil berisi toples-toples permen aneka warna. Aku bisa menebak apa yang ia pikirkan. Rahmad Nursaid, putra almarhum Rusidi, sedang memilih jajan yang hendak dibelinya.

Ini bukan kali pertama aku menemukan anak itu berdiri bermenit-menit di depan warung Hindun yang berada tepat di depan teras rumahku. Seingatku, sudah ketiga kalinya dalam bulan ini. Di bulan sebelumnya, aku menghitung sudah empat kali, sekali dalam seminggu. Ia selalu muncul pukul dua siang, seumpama kereta yang selalu datang di waktu yang sama di sebuah stasiun. Selalu bersamaan saat aku akan berangkat lagi ke kantor setelah pulang sebentar. Aku biasanya makan di rumah saat jam istirahat. Kantor dinas tempatku mengabdi tidak jauh dari kompleks perumahanku.

Aku terus mengamatinya. Jika kuhitung, bocah gundul itu sudah berdiri hampir 15 menit di sana. Utunglah Hindun seorang penjual yang sabar. Ia tidak pernah cerewet pada anak kecil. Dari balik untaian* sachet* sampo yang menggantung, aku bisa melihatnya tersenyum ke arah bocah lugu itu. Aku tahu, perempuan pemilik warung itu akan melayani sang bocah dengan senyum yang akan terus menjuntai seperti *sachet-sachet *sampo jualannya.

Jika Rusidi tidak mati, mungkin Rahmad Nursaid tidak akan memilih menjemur kepalanya yang gundul pada pukul dua siang. Yaitu, ketika warung Hindun sepi dari pelanggan, terutama dari riuh kawan sebayanya. Biasanya, para ibu kompleks pada waktu tersebut kompak meneriaki anaknya untuk tidur siang atau sekadar masuk rumah ketimbang kelayapan di bawah terik matahari.
Namun, karena Rusidi mati, dan hutangnya tak ikut dikubur, dan Romlah—istrinya—harus tetap melunasi hingga sen terakhir, maka lelaki kecil itu demi sebuah pengalaman membeli jajan, ia rela keluar rumah pada pukul dua siang. Kemudian, bocah polos itu mungkin kebingungan memilih jajan yang hendak dibelinya karena jumlah uang yang dibawa memaksanya harus memilih salah satu dari banyak yang mungkin ia minati.

Aku ingat ketika sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah Haji Bahar yang berjarak tiga rumah dari rumahku pada minggu sore tiga tahun yang lalu. Saat itu aku sedang bersepeda dengan Aziz, putra sulungku, mengelilingi kompleks kami. Di belakangnya, dua truk membawa barang yang aku tebak berisi perabotan. Rumah Haji Bahar memang dijual, harganya cukup fantastis, satu milliar. Lebih fantastis lagi, ada yang berani melunasinya. Wajar saja rumah itu mahal, karena dibangun di atas empat kavling tanah yang harusnya untuk empat rumah. Rumah mewah itu berada di dua gang sekaligus, menjadi yang termegah di tengah rumah lain yang apa adanya. Mobil yang aku lihat hari itu adalah milik Rusidi.

Rusidi adalah orang yang ramah meski kaya. Tidak seperti kata orang-orang yang biasanya mengatakan kalau orang kaya itu sombong. Rusidi bukan orang yang sombong. Lelaki pendek itu selalu ikut kegiatan warga, ikut menyumbang jika diminta, dan kadang ikut juga shalat berjamaah di mushala kompleks tempat aku menjadi imam rutin untuk Magrib dan Isya. Ia juga sering memberi sumbangan untuk kegiatan keagamaan. Aku dan Rusidi cukup saling mengenal, karena sering berjumpa di kantorku saat ia mengurus tender-tender yang sering jatuh ke perusahaannya.

Setelah hampir dua bulan hanya menjadi pengamat, siang ini aku memilih ikut campur dalam rutinitas Rahmad Nursaid. Aku berjalan ke warung Hindun, menyiapkan pesona seorang paman yang baik hati.

“Kamu mau beli apa?” tanyaku pada Rahmad.

Ia melirikku dengan pandangan menyelidik. Mungkin ia sedikit terkejut karena aku tiba-tiba berdiri di sampingnya. Ia tidak menjawab.

“Kamu mau roti itu? Biar Ustadz yang beliin. Kamu beli permen itu saja pakai uangmu,” lanjutku.

“Engga usah, Pak Ustadz. Terima kasih,” jawabnya sopan. Aku menilai, Romlah mendidiknya dengan baik meski tanpa didampingi Rusidi.

“Ndak papa, Mad! Ndak papa!” teriak Hindun dari dalam.

Ayah bocah itu mati mengenaskan, mobilnya terjatuh ke jurang, lalu terbakar dan ia terpanggang di dalamnya. Hingga hari ini, tidak diketahui apakah kematiannya murni kecelakaan atau seseorang menginginkan ia mati. Namun, orang-orang yang senang bergosip mengatakan jika Rusidi tidak mati kecelakaan, karena menurut para tukang gosip itu terlalu banyak orang yang tidak menyukainya. Tentu yang mereka maksudkan bukan jemaah mushala, tentu bukan para peminta sumbangan, atau warga komples kami, tetapi para pesaing Rusidi dalam memperebutkan tender-tender.

Yang aku ingat, seminggu sebelum Rahmad Nursaid menjadi yatim, Karmin datang ke rumahku dengan berapi-api. Ia menyampaian protes dari tuannya karena proyek jatuh ke tangan Rusidi.

“Harusnya proyek jalan kabupaten itu jatuh ke Mas Bagyo. Tapi, aku tidak tahu kenapa malah bisa Rusidi yang dapat,” jelasku pada Karmin, anak buah Subaygo Kahar. Ia datang ke rumahku, setelah katanya tidak menemukanku di kantor saat jam istirahat siang.

“Masa iya, Abang tidak tahu? 'Kan kata Abang tender ini jatah kami.”

“Aku tahu, tapi cobalah kamu tanya Kadis! Aku cuma tahu, dia habis dipanggil ke Pendopo, terus aku dipanggil menghadap ke ruangannya. Proposal Rusidi yang disodorkan padaku untuk ditindaklanjuti. Menurutmu, aku bisa apa?”

“Padahal Mas Subagyo sudah setor banyak.”

“Kamu mau mengambil lagi laptop yang kemarin?” tanyaku kemudian.

“Tidak begitu juga, Bang,” jawabnya.

Setelah perbincangan itu mentok, Karmin pamit pulang. Aku bisa melihat wajahnya yang kusut makin kusut setelah melalui pintu rumahku.
Obrolan siang itu selalu muncul di kepalaku saat aku memandang Rahmad yang termangu di depan warung Hindun. Meskipun peristiwa matinya Rusidi telah dua tahun berlalu, tetapi bayangannya tak pernah hilang dari kepalaku. Mungkin juga karena Rahmad dan ibunya tidak pindah dari kompleks setelah menjual rumah. Aku tahu dari istriku bahwa mereka belum bisa membayar seluruh hutang. Seperti kontraktor pada umumnya, Rusidi selalu mengandalkan pinjaman untuk menyelesaikan proyek sebelum dana dari dinas cair ke rekeningnya.

Mungkin pinjaman Rusidi tidak hanya dari bank, sehingga leher anak istrinya masih terjerat bahkan setelah Rusidi membusuk di kuburnya. Yang terjadi setelah kepergian Rusidi, Romlah malah mengontrak di samping bekas rumahnya, lalu berkerja sebagai karyawan di sebuah usaha rumahan membuat seprei.

Aku masih menatap bocah kecil yang masih menimbang jajan yang akan dibelinya itu. Wajahnya mirip sekali bapaknya, seolah-olah anak itu bukan lahir dari ibunya tapi diambil dari bagian tubuh Rusidi. Rusidi juga botak, sama seperti anaknya, tubuhnya pun sama bantet. Hanya saja, Rusidi bukanlah lelaki yang akan menyia-nyiakan waktu untuk berdiri sambil menimbang-nimbang sesuatu, dia lelaki gesit.

Aku mengambil beberapa roti, juga mengambil sejumlah permen dari toples tanpa aku hitung, lalu aku meminta sebuah kresek pada Hindun. Kemudian, semua jajanan itu aku masukkan ke dalam kresek. Aku juga menambahkan minuman gelas untuknya. Kusodorkan semuanya pada Rahmad.

Bocah itu menatapku lama, seakan-akan mencoba masuk ke dalam mataku untuk kemudian mengulitiku dan mencari tahu siapa aku sebenarnya. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul dari dalam hatiku karena tatapan Rahmad, selain karena wajahnya yang begitu mirip dengan mendiang bapaknya.

Pada malam itu, dua hari sebelum Rusidi tewas terbakar di dalam mobilnya, Subagyo Kahar menelponku langsung. Rupanya dia tidak puas dengan laporan Karmin. Lelaki itu bertanya dengan tajam dan sedikit mengancam. Akhirnya aku mengatakan yang sejujurnya. Aku katakan padanya, jika Rusidi menyetor lebih, jauh lebih banyak darinya. Aku juga mendapat cukup banyak, bisa membelikan Aziz sepeda motor baru, karena lima proyek yang lain, semuanya akan menjadi milik Rusidi, dan Subagyo Kahar hanya akan mendapat angin. Aku masih mengingat dengan jelas, hentakan gagang teleponSubagyo yang kasar.

Semua itu telah berlalu, tetapi sampai sat ini aku tidak tahu apakah semuanya berkaitan. Yang jelas, kini aku berdiri di depan anak almarhum Rusidi, menyodorkan kresek hitam berisi jajanan warung, mencoba mengurai kebingungannya. Namun, anak lelaki kecil dengan kepala botak itu masih menatapku runcing, lalu tiba-tiba dia mengibaskan tangannya, kemudian malah berlari meninggalkan warung.

Aku terkejut, lalu menengok ke arah Hindun. Aku seakan-akan tahu bahwa ada jawaban di sana. “Ibunya pesan, jangan sampai ada yang belikan jajan buatnya. Sama saya juga dipesan begitu. Tapi, saya kasihan tadi, makanya saya biarkan Ustadz memberikan jajan. Rupanya anak itu patuh pada ibunya.” Hindun menjelaskan.

“Memang kenapa begitu Hindun?”

“Kata ibunya, ‘takut tidak halal’.”

Ada sesuatu yang tiba-tiba terasa menyengat di hatiku. Aku menghela napas, lalu membayar jajan yang telah aku kreseki dan pergi ke kantor.(*)

Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Toilet

Penerapan Psikologi Sosial Dalam Politik

15 Ciri-ciri Anak Cerdas Istimewa dan Berbakat