Kisah Semalam Anjing Penjaga | Cerpen
Oleh: Santoso Mahargono
Malam ini genap sebulan aku telah berjaga di pabrik penggilingan gabah. Tugas yang mengharuskan kedua mataku terjaga. Aku tak boleh lengah sekalipun. Jika lelah duduk, aku akan berjalan mengawasi sekitar pabrik. Kuharap seperti malam-malam kemarin, tak ada gangguan apapun di pabrik ini.
Namun ternyata tidak demikian, satpam pabrik nampaknya lupa memukul lonceng penanda waktu. Kuliaht di kejauhan pos jaga masih menyala terang. Kuangkat kepalaku agak tinggi, kelihatannya televisinya juga masih menyala. Dasar manusia, disuruh jaga malah enak-enakan tidur. Aku menggonggong singkat dan lirih, boleh dikata sedang mengumpat.
Aku terus berjaga di sudut gelap yang tak diketahui siapapun kecuali satpam pabrik. Memang demikian tugas dari tuanku. Lagi pula siapa yang datang malam-malam begini ke pabrik jika tidak berniat jahat? Apalagi antrian gabah yang akan digiling semakin banyak sejak pagi hingga sore tadi. Jelas ini situasi yang benar-benar dijaga.
"Hei siapa itu?" desahku. Aku sempat melihat bayangan manusia mengendap-endap. Tempias cahaya lampu membantu mataku melihat sosok itu. Namun, kabut di desa ini turun begitu tebalnya, hingga aku kehilangan pandangan bayangan yang mencurigakan itu. Kutelanjangi segala penjuru mata angin. Kudenguskan hidungku menciumi bau-bau yang asing. Tapi, bayangan itu amat sigap menyelinap.
Ekorku mulai kunaikkan. Emosiku perlahan memuncak. Kepala kutegakkan. Sorot mataku kupertajam. Hanya sedetik kejutan akan membuatku menggonggong. Sepertinya aku harus bersabar, tapi mustahil. Kaki depanku reflek menekuk. Pertanda sigap untuk menyerang siapapun. Bahkan kukuku mulai memanjang siap mencakar.
"Kurang ajar, kemana bayangan itu?" aku penasaran.
"Huk huk huk" mungkin dengan menggonggong begini bayangan itu akan panik lalu menampakkan diri.
Sial, bukannya mendapati bayangan, mataku justru tersorot oleh terangnya lampu senter satpam pabrik. Dasar manusia, baru terjaga setelah mendengar suara. Padahal dimana-mana namanya maling seringkali tak bersuara. Lagipula harusnya yang disorot itu bukan aku, tapi tempat-tempat yang gelap.
Aku kecewa, satpam pabrik itu menyandarkan kembali kepalanya di kursi. Ada bantal yang mengganjal lehernya. Mulutnya perlahan menganga, matanya terpejam kembali. Lunaslah kantuknya terbayar.
Kabut kembali menyergap beserta ribuan hening. Hanya suara jangkrik yang sayup-sayup singgah di telingaku. Tiba-tiba saat hening begini pikiranku menjadi cemas. Aku lekas menoleh ke belakang, siapa tahu bayangan itu sudah siap memukul kepalaku dari belakang. "Jangan matikan aku di malam ini Tuhan" pekikku menyebut Sang Pencipta.
Sekali lagi aku cepat-cepat menyoroti apapun di depanku. Lalu segera menoleh ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Pusing juga kalau begini terus menerus. "Awas kau!, aku tak punya ampun, akan kukoyak kau maling!"
"Srek!" sebuah suara di sebelah kiri berbunyi. Ujung daun telingaku bergerak pelan. Taksiranku sekitar sepuluh langkah suara itu berasal. Mataku sedikit memicing di sudut dekat pintu masuk dimana di dalamnya ada tumpukan berkarung-karung gabah.
"Huk huk huk" sekali lagi aku menyalak. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Tujuannya supaya bayangan itu takut dan satpam pabrik yang tertidur akan keluar dari pos jaga menuju kemari. Situasi genting begini aku tetap berharap ada penyelesaian dari manusia. Aku juga ingin tahu bagaimana cara manusia mengatasi maling. Mungkin ada cara lain yang tidak sekedar mengandalkan gigitan sepertiku.
Alih-alih satpam pabrik itu terbangun, ia malah sibuk mengorek lubang telinga dengan jari telunjuk, entah karena kotoran yang gatal atau karena suaraku yang cukup mengganggunya.
Baiklah, mau bagaimana lagi. Aku harus mempertahankan diri dari segala serangan. Ingin kutunjukkan bahwa aku juga setia. Bahkan paling setia jika dibanding satpam pabrik itu. Apalagi selain mendapat jatah makan, satpam pabrik itu juga sering kuamati menerima uang tips dari pemilik sawah yang menggilingkan gabahnya disini.
"Kruuuk.....kruuuk" suara baru muncul dari arah yang sama. Ujung daun telingaku bergerak menangkap sinyal suara itu. Otakku bekerja mengukur seberapa jauh sumber suara itu. Sementara kusimpulkan sendiri kira-kira sepuluh langkah. Itu artinya disitulah bayangan itu mendekam. Tetap disitu-situ saja.
"Hrhrhrhr....." aku mendesah ringan. Meski begitu aku tetap waspada. Seluruh sensor di tubuhku kumaksimalkan. Semua mengarah di sudut dekat pintu. Tempat itu memang paling gelap. Bahkan mataku tak mampu menembus gelapnya. Namun aku yakin bayangan itu tetap disitu. Tidak kemana-mana. Kupastikan sendiri. Kali ini aku mulai tak membutuhkan satpam pabrik itu lagi.
Aku akan melakukan perang dingin dengan bayangan itu. Seberapa kuat ia bertahan dalam gelap. Sedangkan aku sendiri sudah terlatih siaga dalam kurun waktu yang lama. Kujulurkan lidahku supaya hawa panas mengiringi kesabaranku. Perlahan aku menguasai keadaan. Berbagai cara kulakukan untuk memancing bayangan itu keluar. Dengan berbaring sebentar. Meletakkan kepala di lantai, atau merebahkan tubuh sambil menggaruk leherku yang kaku.
Ingin kutunjukkan pada tuanku, bahwa tak salah kiranya dulu memilihku. Jangan seperti satpam pabrik yang malas-malasan dan banyak gaya itu. Lagaknya seperti tentara yang tubuhnya atletis, rambut cepak dan pakai akik dengan mata batu yang besar. Nyatanya pernah mengajakku lari-lari tak sampai seratus langkah sudah ngos-ngosan.
"Kuat juga kau" gumamku menilai kesabaran bayangan itu. Aku masih yakin bayangan itu tak kemana-mana. Mungkin ia pingsan atau bahkan sudah mati. Sebab kabut semakin tebal, gigil semakin menusuk tulang. Diam-diam aku bersyukur tak jadi mati dan berharap bayangan itu gagal berbuat jahat. Bukankah kerja cerdas itu hemat tenaga? Bukankah mengalahkan musuh itu tidak selalu dengan pertumpahan darah?
Sebaiknya kutunggu saja hingga pagi. Terang matahari akan memperjelas siapa bayangan itu sebenarnya. Namun semenit kemudian pikiran itu kuhapus. Jika demikian aku akan menjadi pecundang, tak berani melawan berbagai risiko, menuntaskan dan memenangkan pertandingan. Tapi, ini bukan pertandingan bukan? Ya, ini bukan pertandingan, tapi aku juga tak mau dianggap pecundang.
Ah sudahlah, aku berdiri saja. Kepala kutegakkan. Ekor kukibaskan lalu tegak penuh kewaspadaan. Sebelum kakiku melangkah, sorot mataku beradu padu dengan ujung daun telinga. Semua bekerja dalam kondisi siaga satu. Siap tempur. Perlahan aku menuju sudut gelap itu.
"Kruuuk....kruuuk" kudengar lagi suara itu semakin dekat. Aku pun mendekati sumber suara itu. Dekat, dan semakin dekat. Mataku mulai menangkap sosok bayangan itu. Aku tetap waspada. Saat begini hanya Tuhan yang kuharapkan. Percuma berharap pada satpam pabrik yang kini malah berselimut sarung, meringkuk di atas bangku panj
Kulihat semakin jelas bayangan itu. Sejarak tiga langkah saja. Sepertinya ia seorang lelaki tua yang berkalung selimut. Aroma pesing menguar di hidungku. Ini bukan bau kencingku. Bagaimanapun juga aku tak pernah kencing saat waspada begini. Dan aku tak pernah kencing di tempat lelaki tua itu bersembunyi. Atau ini sekedar trik agar aku menjauh? Atau..., jangan-jangan ini racun melalui bau?
Aku mundur beberapa langkah, tetap waspada. Sebab aku tahu betul perilaku manusia. Mereka sulit ditebak. Mereka pandai berpura-pura dan mereka sebenarnya menyimpan berbagai kemampuan yang siap melumatku malam ini. Ok, aku mundur lagi, tapi aku tak menyerah. Aku terus waspada.
Saat kumandang azan subuh lelaki tua berkalung selimut itu menempelkan jari telunjuknya di bibir. Aku tak paham itu isyarat apa. Dari mulutnya hanya terdengar desis, "Sssst....!"
Anehnya, aku menurut. Naluriku berkata orang ini tak akan menyerangku. Sebab untuk bergerak saja sangat lemas dan lamban. Apalagi berkali-kali terdengar suara aneh dari perutnya yang kempis itu. Seperti suara kokok ayam jantan, hanya saja suara itu lemah sekali.
Perlahan pagi mulai menebar seberkas terang. Lelaki tua berkalung selimut itu semakin jelas wajah dan seluruh tubuhnya yang kurus. Kakinya kerempeng penuh urat. Nampak bekas genangan air membasahi telapak kakinya yang sedikit berlumpur. Rupanya lelaki tua itu semalam mengompol.
Aku terus mengawasi gerak-geriknya yang tak jauh-jauh dari tempatnya bersembunyi semalaman. Kulihat kedua sudut matanya menitikkan air mata. Apakah itu tangisan haru atau tangisan ketakutan tak membuatku peduli. Aku bukan tipe yang mudah terharu, apalagi ibuku pernah bercerita tentang tangis mata buaya yang memangsa sang kancil.
"Hrhrhrh...." aku mencoba memberi peringatan. Kukira sudah terang siapa lawanku. Ternyata orang lemah. Orang kurus. Namun demikian, aku tak lengah. Kujaga orang ini sampai tuanku datang. Percuma berharap pada satpam pabrik, toh pagi ini ia malah pulang setelah menenggak jamu kuat. Biasanya ia kembali ke pabrik sebelum tuanku datang. Lalu ia pura-pura dalam kondisi siap jaga seperti semalaman tidak tidur.
Kulihat terus apa reaksi lelaki tua berkalung selimut itu selanjutnya. Ia menangis sesenggukan. Tangannya memberi isyarat seperti ingin memasukkan lima jari yang menguncup ke dalam mulut. Isyarat yang pernah dilakukan oleh satpam pabrik saat bertemu pemilik sawah yang kaya, lalu memutar-mutar telapak tangan diatas perutnya yang buncit itu.
Semula kupikir dia hanya basa-basi. Namun ini bukan akting juga bukan drama yang sering ditonton satpam pabrik di televisi. Aku berani menyimpukan bahwa kesedihan orang ini cukup meyakinkan. Entah kenapa, naluriku memaksaku untuk membiarkan lelaki tua berkalung selimut ini masuk ke dalam pabrik. Perlahan dan mendekati sekarung gabah.
Mungkin aku pantas dibodoh-bodohkan sebagaimana orang mengumpat atas namaku. Mungkin juga aku teledor dan tak bertanggung jawab seperti yang diharapkan tuanku. Tapi, ini tentang kemanusiaan, dan aku tak bisa mengartikan apa itu kemanusiaan. Aku hanya membiarkan lelaki tua berkalung selimut itu menjebol satu karung berisi gabah, lalu memindahkannya ke dalam buntelan dari selimut.
"Plaakk...!" tiba-tiba kepalaku dipukul benda tumpul dari belakang. Tubuhku goyah, bahkan aku tak sempat mengonggong.
"Dasar anjing goblok, ada maling gabah malah bengong aja!" hanya suara itu yang sempat kudengar sebelum seluruh pandanganku gelap. Sayup-sayup kudengar tuanku datang dan membentak satpam pabrik.
"Kau ini bagaimana, ada maling kok malah anjingnya yang dipukul?"
SINGOSARI, 22 September 2020
Komentar
Posting Komentar