Wanita Yang Ternoda 18+ | Cerpen
Oleh : Ju Ya
Sudah dua tahun kutinggalkan kampung ini, namun, tidak ada yang berubah. Air sungai kecil disamping rumah warga tempat buang hajat dan mandi masih mengeluarkan suara gemercik. Daun tebu dibibir sungai masih berkeserak ditiup angin. Bau bakaran daun kering khas pedesaan masih tercium meski samar. Pesona alam yang hijau Bukit Rimbang Baling masih menjadi pemandangan menggoda untuk di kunjungi wisatawan dengan gelar paru–paru dunia.
Mushalla yang dulu gagah masih berdiri meski catnya telah memudar dan lusuh. Gubuk tua milik orang kaya di kampungku pun masih tetap ada.
Namun, hatiku masih terluka. Amarah masih meraja, kesumat melumat hingga waktu yang tak tahu kapan menjeda.
Kejadian yang paling kubenci, masih terekam dengan sempurna dalam kepala dan kembali hadir seperti layar tancap menayangkan satu persatu kejadian.
"Dewi, bisa tolong ambilkan air ke sungai. Ada anggota dewan berkunjung ke desa kita, kebetulan rumah kita jadi tujuan dewan itu. Dalam rangka sosialisasi pencalonan bupati, tadi, Pak RT datang ke gubuk kita.” Amak meminta dengan suara yang hampir tak terdengar dibawa angin.
Entah kenapa, Amak selalu setuju rumahnya dijadikan tempat perkumpulan. Padahal, masih banyak rumah warga yang lebih pantas dijadikan untuk berkumpul. "Rumah selebar daun pisang, masih juga memaksakan," gerutuku pada perempuan kurus yang selalu berjilbab sarung itu. Segera kuambil ember di dapur dan bersiap menuju sungai yang hanya berjarak empat ratus meter dari rumah.
Seperti kebanyakan rumah di desa, kami tidak memiliki MCK. Karena semua kegiatan itu, kami lakukan di sungai di bawah kaki bukit. Sebenarnya, di belakang rumah ada tong besar yang sengaja Amak sediakan untuk menampung air hujan. Jika kebelet malam hari, tinggal menjangkung di sebelah tong air saja.
“Acaranya kapan, Mak? Besok, sore atau malam ini?” Aku memastikan apakah perlu segera atau masih bisa ditunggu sampai besok pagi.
“Malam, selesai Salat Isya, kata pak RT. Lumayan, Wi. Ada jatah makan malam, nasi bungkus yang disediakan anggota dewan. Bersyukurlah, malam ini kau akan makan enak. Lekas! Nanti keburu malam.” Amak sedikit menekan suaranya.
Amak selalu benar, tak pernah salah. Bagi kami orang kecil, makan nasi ramas adalah anugrah dan bisa dihitung dengan jari dalam sebulan menikmati makanan itu.
“Iya … Baik, Mak.” Segera kutinggalkan amak menuju sungai.
Jalan yang menurun membuat kakiku yang serupa kaki kijang ini gemetar. Setelah memastikan ember berisi penuh, segera kuistirahatkan tubuh di gubuk milik orang tua Hamsah, persawahan yang terbentang seluas mata memandang. Mengumpulkan tenaga, agar kuat menjinjing air yang sudah penuh terisi dianak - anak tangga hingga sampai ke rumah.
Kaki yang terjulur kuayunkan ke depan dan ke belakang dan kuhadapkan tubuh menghadap atap daun dengan mata terpejam, menikmati tiupan angin senja menjelang malam. Dinginnya menjalar hingga ke kepala, suara Azan Magrib yang sayup terdengar tak kuhiraukan, masih betah berada disekitar sawah dengan suasana yang masih terang.
Suara gesekan daun tebu serupa suara biola yang disergap indera pendengaranku terusik dengan tangan seseorang yang sudah ada dipahaku.
Aku terperanjat. Sepontan duduk seperti birth ball yang digunakan member yoga, kembali keposisi semula setelah tertekan oleh sentuhan tangan manusia. Mendapati Hamsah sedang berdiri menghadapku dengan mata nyalang. Tatapan matanya tajam dan aneh. "Apa yang kau lakukan?"
Dia mendekat dan napasnya terdengar berat.
“Hei! Kau kenapa Hamsah? Kemasukan setan ya.” Kutepuk pipi kiri dan kanannya, lalu menarik lengan lelaki itu agar duduk sejajar di sampingku.
Tangan itu mendorong tubuhku hingga jatuh di lantai papan gubuk.
Ouwh!
Aku meringis kesakitan.
"Sakit tahu ..." Bentakku. Dorongannya membuat nyeri dibagian belakang kepalaku. Sejurus kemudian, aku kembali duduk seperti semula.
"Aku ingin mencobanya, Wi!"
Hello! Setan apa yang sedang memasuki Hamsah? Kenapa berubah menjadi zombie yang ingin mengisap darahku. Aku menepis tangannya, "Hoi! Jangan gila, mencoba apa?"
Kedua tangan Hamsah menekan tanganku yang bertengger di atas papan. "Ayolah Wi, kita sudah dewasa. Kelas tiga SMA, sebentar lagi kita akan tamat. Hanya menunggu pengumuman kelulusan. Aku akan bertanggung jawab apapun hasilnya."
Aku tertawa.
"Sadar Hamsah, kita teman baik. Bahkan, aku menganggabmu lebih dari seorang sahabat. Lepaskan tanganmu." Aku mencoba bernegosiasi dan mencoba melepaskan cengkramannya.
Tenaganya semakin kuat.
Semakin agresif dan medekat.
Entah apa yang ada dibenak Hamsah, teman kecilku berubah menjadi buas. Badannya yang lebih besar mendorong tubuhku hingga terjatuh dilantai papan, kini ia benar - benar mengunci seluruh tubuhku.
Dadaku sesak.
"Tolong Hamsah. Sadarlah, lepaskan aku. Amak sudah menungguku di rumah. Kau tahukan, ada anggota Dewan akan ke rumah? Ayolah lepaskan. Jangan main - main." Aku kembali mengingatkan teman kecilku dengan suara sedikit tertahan sambil menggerakan kedua pahaku yang terhimpit sempurna.
Bukannya menjauh, kali ini, wajahnya semakin mendekat ke arah mukaku. Napasnya ikut memburu. Berkali – kali kubuang muka agar tak berserobok, namun Aku kalah. Dia berhasil mencuri ciuman pertamaku dibibir.
"Jangan buat aku ketakutan, Hamsah!" Bentakku.
Napasnya semakin berat. Apa yang sedang terjadi dengan Hamsah sungguh membuatku takut, aku tak boleh tinggal diam. Sebelum Hamsah berlaku lebih nekat, Kugigit bibir bawah lelaki itu sekuat tenaga hingga mengeluarkan darah.
Agrh! Suaranya mengaduh.
Plakk!
Tangan besarnya sudah berada dipipiku. Terasa panas dan menjalar hingga ke telinga. Mendenging.
Sekuat tenaga kudorong Hamsah, kupukul membabi buta tubuhnya hingga lelaki itu berjarak. Kesempatan ini harus kumafaatkan, aku turun dari gubuk dan berlari menjauh sekencang yang aku bisa. Namun, kakinya lebih panjang, Dia kembali menarik tanganku. Mengangkat tubuh mungil ini dan menghempaskan dengan kasar dilantai papan.
Tubuhku seperti remuk, seolah maut telah datang menjemputku. Himpitan tubuhnya membuat pandanganku terasa mengabur dan sejurus kemudian kesadaran pun menghilang.
"Hamsah ...."
Aku benci diriku dan benci Hamsah.
***
Aku masih berdiri, menghirup udara pagi yang segar dari atas pijakan memandang hamparan bukit yang hijau. Kampung ini terletak di Desa Tanjung Belit Kampar Kiri Hulu Riau. Mayoritas warga desa ini hidup di bawah garis kemiskinan karena minim sentuhan pembangunan. Selain keluargaku, rumah di sini kebanyakan dibangun dari bantuan pemerintah "rumah layak huni."
Wilayah ini dikenal dengan sebutan 'Khalifah Batu Songgan.' Karena keterkaitan dengan 'Kerajaan Gunung Sahilan.' Kecamatan yang paling Hulu dan masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat.
"Kak Dewi!” Suara Siti, membuyarkan lamunanku.
Siti berlari menghampiriku, menggenggam tangan dan menarik untuk kuikuti.
"Kemana akan kau bawa?" Kulangkahkan kaki menjauhi Siti.
"Kumohon, Kak." Siti berlutut. Air matanya merembes sambil menahan kakiku.
Demdamku masih melumat disegumpal daging berwarna merah yang membuat kepalaku panas.
"Aku tak bisa, maaf." Kutepis tangannya dari kakiku.
"Dewi! Kau wanita tercantik. Aku cinta. Dewi ... Dewi ..."
Aku menoleh ke arah suara itu. Kira - kira 5 langkah jaraknya dariku. Hamsah.
Dadaku bergemuruh. Cepat kupalingkan muka. Ada pedih yang menyelusup di dalam dadaku.
Dewi ...
Dewi ...
"Kau, Dewi, Istriku?"
Tubuh lelaki itu mendekat dan memegang lenganku. Suara itu, pernah kurindukan dan kucari setiap hari. Namun, kesalahannya membuatku semakin terluka. Seperti virus yang menggerogoti.
Kubuang dengan kasar tangannya dari tanganku, segera kutinggalkan kakak beradik itu berdua, ada sedikit kepuasan dalam hati karena Hamsah menjadi gila. Aku tidak akaj membiarkan lelaki itu sembuh dari gilanya. Biarkan lelaki pendosa sepertinya menjadi gila seumur hidup dan menanggung penderitaan seperti aku menderita dengan gelar “Gadis rasa Janda”.
Komentar
Posting Komentar