Sejarah dan Asal-usul Banyuwangi, Bukti Cinta Tulus Istri kepada Suami
Penulis: Ellyvon Pranita
Banyuwangi menjadi daerah yang ramai diperbincangkan saat viralnya cerita KKN Desa Penari di berbagai media sosial pada 2019 lalu.
Cerita terkenal itu saat ini tahun 2022, dikemas ulang dalam sebuah layar kaca film horor Indonesia.
Meskipun syuting film tersebut tidak dilakukan di lokasi asli cerita itu berasal, asal-usul daerah Banyuwangi ini tetap menarik untuk diketahui.
Asal usul nama Banyuwangi
Secara geografis, Kabupaten Banyuwangi berbatasan dengan Kabupaten Situbondo di sebelah utara, Samudera Indonesia di sebelah Selatan, Kabupaten Bondowoso disebelah barat, dan Selat Bali di sebelah Timur.
Luas wilayah Kabupaten Banyuwangi sekitar 5.782.50 kilometer persegi, dan merupakan kabupaten terluas di Provinsi Jawa Timur.
Dilansir dari laman resmi Kabupaten Banyuwangi, konon dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa itu dipipmpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Prabu Sulahkromo ini dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patik Sidopekso.
Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung disebutkan memiliki paras yang sangat elok.
Sri Tanjung juga diketahui halus budi bahasanya sehingga membuat Raja paru Sulahkromo tergila-gila padanya.
Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung, maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa.
Hal ini dilakukan, hanya demi membuat Sri Tanjung untuk sementara waktu ditinggal pergi oleh suaminya.
Patih Sidopekso pun melangkah untuk melakukan titah raja tersebut dengan gagah berani, dan tanpa curiga.
Saat patih tersebut pergi, Raja Prabu Sulahkromo ternyata melakukan sikap tak senonoh dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukannya.
Namun, cinta Raja Prabu Sulahkromo itu tidak disambut dengan baik dan tak membuat Sri Tanjung berubah pikiran.
Sri Tanjung tetap teguh pendirian menjalankan kehidupan sebagai seorang istri yang selalu berdoa untuk suaminya, Patih Sidopekso yang sedang menjalankan tugasnya di luar rumah.
Raja yang ditolak cintanya itu pun, menjadi penuh amarah dan panas hatinya.
Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap sang raja.
Karena awalnya tidak berhasil dengan cara merayu Sri Tanjung secara langsung, Sang Raja memiliki akal busuk lainnya dengan membuat fitnah agar suami-istri tersebut bertengkar dan berpisah.
Raja menyebutkan, bahwa saat Patih SIdopekso pergi melaksanakan titah raja, Sri Tanjung telah mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.
Mendengar cerita tersebut, Patih Sidopekso pun langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan, tanpa berpikir panjang.
Saat didatangi oleh suaminya dengan penuh amarah tersebut, Sri Tanjung menceritakan kejadian yang sebenarnya dengan lugu dan jujur.
Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur itu membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu.
Lalu, diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh.
Sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari istri kepada suaminya itu.
Sebagai bukti kejujuran, kesucian, dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu.
Apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk, maka dirinya telah berbuat serong atau berselingkuh merayu Raja Prabu Sulahkromo, tetapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.
Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri. Ia segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercih dari tubuh Sri Tanjung dan membuatnya mati seketika.
Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca, serta menyebarkan bau harum, bau wangi.
Melihat kondisi air sungai keruh yang berubah menjadi jernih dan wangi itu, Patih Sidopekso pun menjadi lemas, terhuyung-huyung, jatuh dan linglung.
Tanpa ia sadari, dirinya menjerit sendiri dengan menyebutkan “Banyu…… wangi… Banyu wangi….”.
Kata "Banyu" merujuk pada air, dan "Wangi" merujuk pada aroma harum.
Dari kisah inilah, disebutkan nama Banyuwangi itu berasal. Banyuwangi terlahir dari bukti cinta tulus seorang istri pada suaminya.
Kompas, 5 Mei 2022
Komentar
Posting Komentar